apa yang anda sukai dari bagian kendaraan anda?

welcome

Hi friends you are welcome in myblog. you can fine what do you want

Laman

Sabtu, 22 Mei 2010

PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP BEBERAPA MEREK NOTEBOOK



1. LATAR BELAKANG

Penggunaan merek merupakan masalah utama dalam strategi produk. Sebagaimana dikatakan Russel Hanlin, CEO Sunkist Growers: “Jeruk adalah jeruk...adalah jeruk. Kecuali kalau...jeruk tersebut kebetulan menjadi Sunkist, suatu nama yang dikenal dan dipercayai 80% konsumen. Begitupun sebuah notebook ataupun laptop, jika sudah dibalut oleh merek maka aware konsumen terhadap produk tersebut menjadi beda, baik dari persepsi kualitas produk, harga, promosi digunakan oleh perusahaan yang mesung merek tersebut, maupun brand itu sendiri.
Merek-merek terkenal meminta harga yang sangat tinggi (tergantung kualitas dan spesifikasi yang ditawarkan). Perusahaan-perusahaan Jepang seperti Sony telah membangun pasar besar yang setia terhadap merek. Pada saat yang sama, pengembangan produk bermerek menuntut investasi jangka panjang yang sangat besar, khususnya untuk iklan, promosi, dan pengemasan.
Perusahaan-perusahaan perlu meriset dimana mereknya berada dalam benak planggan. Menurut Kevin Keller, “Yang membedakan merek dari semua komoditas tanpa merek adalah persepsi dan perasaan pelanggan tentang atribut produk tersebut dan bagaimana kinerja produk tersebut. Akhirnya, merek tetap tinggal dalam benak konsumen.” Ada tiga pendekatan riset yang umumnya digunakan untuk mendapatkan makna merek (Philip Kotler: 2005) :
1. Asosiasi kata: orang-orang dapat ditanyakan kata apa yang muncul dalam pikirannya ketika mereka mendengar nama merek tersebut. Dalam kasus Compaq, barangkali mereka akan menyebutkan PC (Personal Computer), laptop, notebook, kualitas yang bagus dll.
2. personifikasi merek: orang-orang dapat diminta menggambarkan orang atau binatang seperti apa yang mereka pikirkan ketika merek itu disebutkan. Contohnya, mereka mungkin akan mengatakan bahwa merek Levi’s membuat mereka berpikir tentang pria gagah yang menunggang kuda dengan topinya yang keren. Kepribadian merek merek tersebut memberikan gambaran tentang sifat-sifat yang lebih manusiawi tentang merek tersebut.
3. perjenjangan keatas untul menemukan esensi merk: Esensi Merek terkait dengan tujuan yang lebih dalam dan lebih abstrak yang dicoba untuk dipuaskan melalui merek tersebut. Tanyakanlah mengapa seseorang ingin membeli Thosiba (Notebook Thosiba). “Thosiba tampak kokoh” (atribut). Mengapa penting Thosiba itu harus kokoh?” “Hal itu menyiratkan bahwa Thosiba itu handal (manfaat fungsional). “mengapa kehandalan dianggap penting?” “karena saya dapat dengan mudah dan cepat menyelesaikan seluruh pekerjaan saya” (manfaat emosional). “Mengapa anda harus bekerja dengan cepat?” “Saya dapat membantu perusahaan dalam mencapai target yang telah ditetapkan (esensi merek).
Para pemasar harus memutuskan pada tingkat mana identitas merek tersebut ditempatkan. Scott Davis mengemukakan visualisasi piramida merek dalam membangun citra suatu merek. Pada tingkat terendah terdapat atribut-atribut merek, pada tingkat berikutnya terdapat manfaat merek, dan pada puncaknya terdapat keyakinan dan nilai merek tersebut. Dengan demikian, pemasar laptop atau notebook dapat berbicara tentang atributnya tentang adanya camera; atau manfaatnya untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas kantor dengan lebih mudah dan cepat; atau nilainya, menjadi lebih menarik. Atribut ini adalah tingkat yang paling tidak diinginkan. Pertama, pembeli lebih tertarik dengan manfaat. Kedua pesaing dapat dengan mudah meniru atribut. Ketiga, atribut saat ini mungkin akan kurang diinginkan. Suatu merek dapat diposisikan lebih baik dengan mengasosiasikan namanya dengan satu manfaat yang diinginkan. Pada saat yang sama, upaya mempromosikan merek hanya berdasarkan satu manfaat dapat berisiko.
Merek yang paling kuat menyajikan lebih daripada sekedar daya tarik rasional; merek tersebut mengandung kekuatan emosional. Marc Gobe, penulis Emotional Branding, berpendapat bahwa merek-merek yang berhasil harus melibatkan pelanggan pada tingkat yang lebih dalam, dengan menyentuh emosi universal (lebih mengandalkan penciptaan kejutan, hasrat, dan kegairahan disekeliling merek).
Penelitian ini akan difokuskan pada masalah beberapa merek notebook dengan pendekatan marketing mix (Produk, Price, Promotion, Place) dan Brand itu sendiri. Dengan ditelitinya persepsi konsumen (end user) terhadap merek masing-masing notebook, maka selanjutnya dapat dengan mudah dilihat mana notebook yang mempunyai brand awareness yang tinggi dan yang banyak diminati oleh konsumen baik dari segi produk, price, promotion and brand.

2. PERUMUSAN MASALAH

Masalah persepsi konsumen terhadap beberapa merek notebook dapat dirumuskan sebagai berikut: dengan memasukan berupa taktik pemasaran dan nilai pemasaran.

3. BATASAN MASALAH

Pada penelitisian persepsi konsumen terhadap beberapa merek notebook dibatasi pada beberapa variabel pemasaran saja, berupa taktik pemasaran dan nilai pemasaran, yaitu:
• Produc, Price, and Promotion (taktik pemasaran) yang dikenal dengan istilah 4P, tetapi kami tidak memasukan unsur place karena keterbatasan yang ada.
• Brand awareness dan Brand association (nilai)


4. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan melakukan evaluasi terhadap posisi merek notebook yang banyak digunakan dan diminati oleh kalangan mahasiswa dan masyarakat umum yang membutuhkannya baik dari segi kualitas, harga, dan fitur-fitur yang melengkapi sebuah notebook. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti karena fenomena makin maraknya pemilikan dan penggunaan notebook dikalangan mahasiswa. Notebook bukan lagi barang mewah yang susah untuk dimiliki mahasiswa. Tingginya permintaan pasar yang diiringi dengan semakin terjangkaunya harga, membentuk segmen pasar tersendiri yang cukup menarik bagi para pabrikan, baik lokal maupun pabrikan internasional yang telah memiliki nama

5. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai benchmark atas keberhasilan perusahaan yang dalam memasarkan produknya (notebook) yang mengusung berbagai merek yang banyak diminati dan berkembang dipasaran. Dari hasil informasi yang didapat, seyogyanya perusahaan terkait akan mempertahankan, memperbaharui atau mendesign ulang strategi pemasarannya baik dari segi produk beserta atributnya, price, promosi dan pendistribusian produknya agar lebih bisa kompetitif dan bahkan memenangkan peta persaingan yang ada dipasar.
Penelitian ini juga diharapkan bisa sebagai ajang pemahaman lebih mendalam bagi kami selaku mahasiswa dalam menerapkan teori-teori pemasaran dalam kehidupan bisnis secara nyata.

6. LANDASAN TEORI

Perilaku membeli timbul karena didahului oleh adanya minat membeli, minat untuk membeli muncul salah satunya disebabkan oleh persepsi yang didapatkan bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang baik, dalam hal ini produk notebook , menimbulkan suatu perilaku membeli produk notebook tersebut.
Pengertian Persepsi
Para konsumen tidak asal saja mengambil keputusan pembelian. Pembelian maerka sangat terpengaruh oleh sifat-sifat budaya, sosial, pribadi dan psikologis. Faktor-faktor psikologis di sini diantaranya adalah motivasi, belajar, persepsi, kepercayaan dan sikap (Kotler, 1999) persepsi merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengambilan keputusan pembelian. Persepsi merupakan suatu realitas yang ada pada diri seseorang (Simamora, 2001).
Rakhmat (1988) berpendapat bahwa persepsi merupakan pengalaman terhadap obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpan, informasi dan menafsirkan pesan. Selanjutnya dikatakan oleh Walgito (1997) bahwa persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh pengindraan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptor, yang diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak dan terjadilah proses psikologis, sehingga individu menyadari apa yang dilihat, didengar dan sebagainya. Hal itu dikuatkan oleh pendapat Davidoff (Walgito, 1994) yang mengataikan bahwa yang disebut persepsi yaitu suatu stimulus yang diindera oleh individu lalu diorganisasikan, kemudian diinterprestasikan, sehingga individu menyadari, mengerti apa yang diindera itu.
Menurut Sanmustari (Ratnawati, 1992) persepsi diartikan sebagai suatu proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Kesan yang diterima sangat tergantung dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta faktor-faktor luar maupun dalam yang ada pada diri individu. Persepsi merupakan faktor yang menentukan terbentuknya sikap terhadap sesuatu maupun perilaku tertentu.
Wexley dan Yuki (1992) juga menambahkan bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah sebagian unit suatu rangsangankesadaran yang ada pada suatu peristiwa, dimana bagian ini diinterpretasikan sesuai dengan harapan, nilai-nilai serta keyakinan individu. David (Yamit, 2000) mengemukakan bahwa kualitas merupakan kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses penginderaan, penafsiran, pengorganisasian dan penginterprestasikan terhadap suatu obyek, kejadian, informasi atau pengalaman yang mungkin dialami atau diterima individu yang kemudian diolah dan menimbulkan suatu reaksi.
Pengertian Merek
American Marketing Association (AMA) mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau skelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang atau jasa pesaing (kotler: 2005).
Merk adalah suatu simbol rumit yang dapat menyampaikan hingga enam tingkat pengertian (kotler: 2005), yaitu:
1. Atribut: Merek mengingatkan atribut-atribut tertentu.
2. Manfaat: Atribut-atribut harus diterjemahkan menjadi manfaat fungsioduonal dan emosional
3. Nilai: Merek tertentu juga mengatakan sesuatu tentang nilai produsennya
4. Budaya: Merek tersebut juga melambangkan budaya tertentu
5. Kepribadian: merek tersebut juga melambangkan kepribadian tertentu.
6. Pemakai: Merek tersebut menyiratkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut
Pengertian produk dan kualitas produk
Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan (kotler: 2005)
Ahyari (1990) mengatakan bahwa kualitas produk merupakan jumlah dari atribut atau sifat-sifat sebagaimana didiskripsikan di dalam produk dan jasa yang bersangkutan. Dengan demikian termasuk dalam kualitas ini adalah daya tahan, kenyamanan pemakaian serta daya guna.
Kotler (Simamora, 2002) mengatakan bahwa kualitas merupakan totalitas fitur dan karakteristik yang yang mampu memuaskan kebutuhan, yang dinyatakan maupun tidak dinyatakan, kualitas mencakup pula daya tahan produk, kehandalan, ketepatan, kemudahan operasi dan perbaikan, serta atribut-atribut nilai lainnya. Beberapa atribut itu dapat diukur secara obyektif. Dari sudut pandangan pemasaran, kualitas harus diukur sehubungan dengan persepsi kualitas para pembeli.
Assauri (1998) mengatakan bahwa kualitas produk merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang atau hasil yang menyebabkan barang atau hasil tersebut sesuai dengan tujuan untuk apa barang atau hasil itu dimaksudkan.
Kata kualitas mempunyai arti bagi masing-masing individu, terutama pada tingkatan pasar. Assauri (1998) mengatakan bahwa kualitas produk merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang atau hasil yang menyebabkan barang atau hasil tersebut sesuai dengan tujuan untuk apa barang atau hasil itu dimaksudkan atau dibutuhkan. Yang dimaksud faktor-faktor adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh barang tersebut, seperti wujudnya, komposisinya dan kekuatan. Kualitas produk yang ditetapkan oleh perusahaan adalah suatu keadaan produk yang terbaik, berguna untuk memuaskan konsumen, karena konsumen lebih mengetahui apakah produk tersebut dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas produk adalah bagaimana produk itu memiliki nilai yang dapat memuaskan konsumen baik secara fisik maupun secara psikologis yang menunjuk pada atribut atau sifat-sifat yang terdapat dalam suatu barang atau hasil.
Pengertian persepsi terhadap kualitas produk
Pada hakekatnya, setiap orang selalu melakukan persepsi terhadap hal-hal di sekitarnya. Hal-hal telah dipelajari sebeluknya atau pengalaman-pengalaman masa lalunya bersama dengan hal-hal dari luar individu yang baru saja dipelajari, ditambah dengan hal-hal lain, seperti sikap, harapan-harapan, fantasi, ingatan dan nilai-nilai yang dimiliki individu akan mempengaruhi persepsinya terhadap suatu obyek persepsi.
Simamora (2002) mengatakan bahwa yang terpenting dari kualitas produk adalah kualitas obyektif dan kualitas menurut persepsi konsumen (persepsi kualitas) yang terpenting adalah persepsi di mata konsumen.
Persepsi konsumen terhadap sesuatu hal ini kualitas suatu produk berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh konsumen, karena persepsi kualitas merupakan persepsi dari konsumen maka persepsi kualitas tidak dapat ditentukan secara obyektif. Persepsi konsumen akan melibatkan apa yang penting bagi konsumen sehingga akan membawa minat membeli yang berbeda pula. Melalui kemampuan mempersepsi obyek stimulus, seseorang memperoleh input berupa pengetahuan tentang kualitas suatu produk. Sehingga konsumen yang dihadapkan pada suatu produk akan merasa yakin dan tertarik terhadap kualitas dari suatu produk dan dapat pula digunakan dalam pengambilan keputusan (Wetley dan Yuki, 1992).
Persepsi terhadap kualitas produk didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan (Durlanto, Sugiarto & Sitinjak, 2001). Karena persepsi terhadap kualitas merupakan persepsi dari pelanggan, maka tidak dapat ditentukan secara obyektif. Persepsi pelanggan akan melibatkan apa yang penting agar pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap kualitas produk adalah suatu proses yang terjadi dalam diri individu dalam memilih, menafsirkan, mengorganisasikan, menginterprestasikan, dan memberikan penilaian terhadap kualitas suatu produk apakah produk tersebut memuaskan atau tidak yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap kualitas produk
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi individu terhadap suatu obyek. Faktor-faktor itu menyangkut faktor yang ada dalam diri individu dan faktor yang berhubungan dengan lingkungan individu. Faktor-faktor teknis dan timbul dalam diri individu yang mempengaruhi proses persepsi diantaranya faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan (Mar’at, 1981). Kriteria-kriteria tersebut juga mempengaruhi persepsi konsumen terhadap kualitas produk yang akan mereka beli. Konsumen dapat mempunyai kesan-kesan tentang diri mereka sendiri maupun produk yang akan mereka beli, sehingga konsumen dapat mempersepsi produk yang akan dibeli dan melakukan keputusan pembelian.
Seseorang yang mendapat rangsangan siap untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Bagaimana orang tersebut melakukannya dipengaruhi oleh persepsi terhadap situasi. Dua orang yang mendapat rangsangan yang sama dalam situasi yang sama mungkin bertindak lain, karena mereka memandang situasi dengan cara yang berbeda.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan individu adalah usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, kelas sosial dan lokasi dimana konsumen berada juga mempengaruhi persepsi konsumen (Walters dan Paul dalam Orbandini, 1996). Faktor-faktor ini menyebabkan seseorang individu memiliki pengalaman yang berbeda dengan individu lainnya, sehingga berpengaruh pula pada caranya mempersepsi stimulus yang diterima. Faktor-faktor lain yang juga ikut mempengaruhi persepsi terhadap kualitas produk adalah harga dan merk.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap kualitas produk adalah harga, merk, pengalaman, suasana hati, usia, pendidikan dan pengetahuannya, pekerjaan, kelas sosial dan lokasi dimana konsumen itu berada.
Aspek untuk mengukur persepsi terhadap kualitas produk
Persepsi terhadap kualitas produk merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk yang berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh konsumen. Karena persepsi kualitas tidak dapat ditentukan secara obyektif. Persepsi konsumen akan melibatkan apa yang penting bagi konsumen, karena setiap konsumen memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap suatu produk (Durianto, dkk, 2001).
Sehubungan dengan penelitian ini aspek-aspek untuk mengukur persepsi terhadap kualitas produk berdasarkan teori dari Rakhmat (1988) yang terdiri dari pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan obyek yang dipersepsi adalah kualitas produk yang pengukurannya didasarkan pada dimensi kualitas produk dengan mengacu pada pendapat Garvin (Durianto dkk, 2001) yang mengatakan bahwa terdapat tujuh dimensi karakteristik yang digunakan oleh para konsumen dalam mempersepsi kualitas produk. Ketujuh dimensi karakteristik kualitas produktsb adalah :
1. Kinerja : melibatkan berbagai karakteristik operasional utama, misalnya karakteristik operasional notebook adalah kecepatan, kapasitas penyimpanan, daya tahan batre.
2. Pelayanan : mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut. Misalnya notbook merek tertentu menyediakan bengkel pelayanan kerusakan atau service bergaransi
3. Ketahanan : mencerminkan umur ekonomis dari produk tsbn, atau beberapa lama produk dapat digunakan.
4. Keandalan : konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya.
5. Karakteristik produk : bagian-bagian tambahan dari produk. Bagian-bagian tambahan ini memberi penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan pelanggarannya yang dinamis sesuai perkembangan, yaitu menyangkut corak, rasa, penampilan, bau dan daya tarik produk.
6. Kesesuaian dengan spesifikasi : merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji.
7. Hasil : mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan hasil akhir produk yang baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas lain yang penting.
Martinich (Yamit, 2001) mengemukakan bahwa ada enam dimensi karakteristik yang digunakan oleh para konsumen dalam mempersepsi kualitas suatu produk. Keenam dimensi karakteristik kualitas produk tersebut adalah :
1. Performance : karakteristik operasi dasar dari suatu produk.
2. Range and type of features : kemampuan atau keistimewaan yang dimiliki produk.
3. Reliability and durability : kehandalan produk dalam penggunaan secara normal dan berapa lama produk dapat digunakan
4. Maintainability and serviceability : kemudahan untuk pengoperasian produk dan kemudahan pemakaian.
5. Sensory characteristics : penampilan, corak, rasa, daya tarik, bau, selera dan beberapa faktor lainnya yang mungkin terjadi aspek penting dalam kualitas.
6. Ethical profile and image : kualitas adalah bagian terbesar dari kesan pelanggan terhadap produk.
Dari aspek-aspek yang telah diterangkan di atas maka dipilih salah satu aspek yang dipakai, yaitu aspek persepsi terhadap kualitas produk oleh David A. Garvin (Durianto, dkk : 2001) yaitu dimensi persepsi terhadap kualitas produk terdiri dari kinerja, ketahanan, keandalan, karakteristik produk, kesesuaian dengan spesifikasi dan hasil yang didapatkan oleh konsumen.

Hubungan antara Persepsi terhadap Kualitas Produk dengan Minat Membeli
Individu dalam membeli produk selalu menginginkan untuk mendapatkan produk yang baik dan berkualitas. Selama ini persepsi konsumen terhadap kualitas suatu produk masih diwarnai keragu-raguan. Ini disebabkan karena konsumen hanya mendapat sedikit informasi yang obyektif dari produsen atau pemasar. Seseorang yang telah melihat dan mendengar kualitas suatu produk tentu telah mempunyai sikap dan keyakinan terhadap produk. Hal ini tentunya akan mempengaruhi perilaku yang dimilikinya berkaitan dengan stimuli yang diterimanya. Dengan kata lain terdapat rangsangan pada diri individu yang mendorongnya berperilaku sesuai dengan obyek stimuli yang diterimanya.
Persepsi terhadap kualitas suatu produk didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan (Durianto, dkk, 2001). Karena persepsi terhadap kualitas merupakan persepsi dari pelanggan, maka tidak dapat ditentukan secara obyektif. Persepsi pelanggan akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa.
Sesuai dengan pendapat Kotler (1999) yang mengatakan bahwa para konsumen tidak asal saja mengambil keputusan pembelian. Pembelian konsumen sangat terpengaruh oleh sifat-sifat budaya, sosial, pribadi dan psikologi. Faktor-faktor psikologi dari sini diantaranya adalah motivasi, belajar, persepsi, kepercayaan dan sikap. Persepsi merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengambilan keputusan.
Minat merupakan sesuatu hal yang penting, karena minat merupakan suatu kondisi yang mendahului sebelum individu mempertimbangkan atau membuat keputusan untuk membeli suatu barang, sehingga minat membeli merupakan sesuatu hal yang harus diperhatikan oleh para produsen atau penjual. Susanto (1997) mengatakan bahwa individu yang mempunyai minat membeli, menunjukkan adanya perhatian dan rasa senang terhadap barang tersebut. Adanya minat individu ini menimbulkan keinginan, sehingga timbul perasaan yang menyakinkan dirinya bahra barang tersebut mempunyai manfaat bagi dirinya dan apa yang menjadi minat indibidu ini dapat diikuti oleh suatu keputusan yang akhirnya menimbulkan realisasi berupa perilaku membeli. Seperti diketahui, persepsi terhadap kualitas produk pada tiap-tiap orang berbeda, sehingga akan membawa minat membeli yang berbeda pula. Persepsi seseorang tentang kualitas suatu produk akan berpengaruh terhadap minat membeli yang terdapat pada individu. Persepsi yang positif tentang kualitas produk akan merangsang timbulnya minat konsumen untuk membeli yang diikuti oleh perilaku pembelian. Konsumen cenderung menilai kualitas suatu produk berdasar faktor-faktor yang mereka asosiasikan dengan produk tersebut. Faktor tersebut dapat bersifat intrinsik yaitu karakteristik produk seperti ukuran, warna, rasa atau aroma dan faktor ekstrinsik seperti harga, citra toko, citra merk dan pesan promosi. Apabila atribut-atribut yang terdapat dalam suatu produk itu sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen, maka ini akan menimbulkan minat membeli (Schiffman and Kanuk dalam Cahyono, 1990).
Produsen sebagai pembuat suatu produk, pastilah memiliki harapan agar produk yang dihasilkannya dapat laku dipasaran. Tetapi bagaimanakah sikap dari konsumen sendiri terhadap barang tersebut, apakah mereka akan memandang barang tersebut sebagai barang yang bagus, menarik, tahan lama ataukah barang tersebut jelek, tidak menarik, mudah rusak dan sebagainya yang diharapkan dari apa yang telah didengar atau dilihat oleh masyarakat itu dapat menimbulkan minat mereka untuk mengetahui lebih lanjut tentang kualitas barang tersebut secara langsung. Sehingga, berangkat dari minat tersebut mereka dapat sekedar mencoba apa yang ditawarkan, yang nantinya menimbulkan keinginan dari diri konsumen untuk ingin memiliki, terutama bila minat membeli menempatkan persepsi terhadap kualitas suatu produk sebagai faktor yang penting dalam membuat keputusan.


7. Hipotesis
Berdasarkan semua uraian yang telah penulis kemukakan, maka hipotesis yang ingin penulis ajukan adalah : “Ada hubungan positif antara persepsi terhadap kualitas produk, harga, promosi dengan minat membeli merek notebook tertentu”. Artinya semakin baik/tinggi persepsi seseorang terhadap suatu produk maka akan semakin tinggi pula minat membeli seorang konsumen, sebaliknya semakin buruk/rendah persepsi seseorang terhadap suatu produk maka akan semakin rendah pula minat membeli yang dimilikinya.


8. METODE PENELITIAN

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari langkah-langkah berikut:
• Melakukan studi kepustakaan terhadap berbagai referensi yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Topik-topik yang akan dikaji antara lain meliputi: persepsi konsumen terhadap merek yang meliputi produk, harga, promosi, Brand awareness, dan Brand association, serta perilaku konsumen dalam melakukan pembelian terhadap produk tersebut. Sebagai tambahan adalah purchase intention populasi sample akan produk (notebook) dimasa akan datang.
• Penelitian ini menggunakan metode survey dengan studi pendahuluan menggunakan teknik diskusi fokus grup (FGD). Selanjutnya hasil FGD diuji dengan survey lapangan dalam bentuk pembagian koesioner terhadap 100 responden. Hasil survey lapangan, digunakan sebagai data input dalam membangun peta persepsi.
• Pengambilan sampel dilakukan melalui purposive sampling. Tingkat validitas dan reliabilitas data diketahui dengan menggunakan uji validitas dan reliabilitas dengan bantuan program SPPS.


8. DAFTAR PUSTAKA
Ahyari, A. 1990. Management Produksi. Yogyakarta : BPFE
Assauri, S. 1998. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Revisi. Jakarta : LPFEUI
Azwar, S. 2002. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyarkarta : Pustaka Pelajar.
Clindiff, E.W. Still, R.R. Govoni, N.R.P. 1988. Dasar-Dasar Marketing Modern (Terjemahan M.Manulang). Yogyarkarta : Liberty Offset.
Durianto, D. Sugiarto dan Sitinjak, T. 2001. Strategi Menaklukkan Pasar Riset Ekuistis dan Perilaku Merk. Jakarta : Gramedia.
Engel, James F. Blacwell, Roger D. Miniard, Paul W. 1995. Perilaku Konsumen. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Irawan, H. 2002. IQ prinsip Kepuasan Pelanggan. Jakarta : PT. Gramedia.
Kotler, P. 1999. Marketing Jilid I (Terjemahan Herujat; Purwoko). Jakarta : Erlangga
Kotler, P. 2005. Manajemen Pemasaran (Terjemahan Molan; Jakarta). Jakarta : Indeks
Mar’at. 1981. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta : Ghalia.
Nitisemito, A. 1993. Marketing. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Poerwodarminto. 1991. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Pamangsah. 2008. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI terhadap KUALITAS PRODUK dengan MINAT MEMBELI. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Manajemen UGM
Wardhana, Arief Rachman. 2008. Pemasaran - Citra Produk. Theses. Yogyakarta. Fakultas Manajemen UGM
Suryabrata, S. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali.
Swastha, B. Irawan, H. 2000. Manajement Pemasaran Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta : Liberty.
by Andy Lala

Jumat, 21 Mei 2010

MOTIVASI KONSUMEN


PENDAHULUAN
Ketika konsumen sangat menginginkan suatu produk/merek, tetapi mereka tidak bisa memperoleh pilihan penawaran pemenuhan yang cukup, maka pemasar dapat memperoleh pengertian mengenai perilaku konsumen itu dengan mudah. Namun seiring dengan berkembangnya perusahaan dan pasar muncul tingkat persaingan yang semakin lama semakin ketat serta resiko kegagalan usaha yang semakin besar pula. Dan pada saat ini pemasar memerlukan data (perilaku) konsumen yang akurat, sehingga perusahaaan dapat mempertahankan, dan bahkan mengembangkan keberadaanya di pasar.

Melalui studi tentang konsumen dan perilakunya ini dapat dipahami. Meskipun hasil prediksi yang sempurna mungkin tidak akan diperoleh, namun usaha yang didesain dengan tepat akan dapat mengurangi risiko kegagalan pemasaran secara berarti, dibandingkan jika pengambilan keputusan manajerial tidak dilengkapi dengan data dari pendapat konsumen. Dalam pembahasan tentang perilaku konsumen, terdapat banyak pengaruh yang mendasari seseorang dalam mengambil keputusan pembelian suatu produk/merek yang harus dipelajari oleh pemasar.

Keputusan membeli barang dan jasa tertentu terkadang merupakan hasil dari proses yang lama dan rumit yang mencakup kegiatan mencari informasi, membandingkan berbagai merek, melakukan evaluasi dan melakukan kegiatan lainnya. Namun terhadap produl lainnya, keputusan pembelian dapat terjadi secara mndadak, mungkin hanya dengan melihat produk tersebut dipajang dipasar swalayan dengan harga diskon. Sering ditemui, konsumen kerap membeli suatu produk karena dorongan hati yang muncul saat itu.

Pada kebanyakan orang, perilaku pembelian konsumen seringkali diawali dan dipengaruhi oleh banyaknya rangsangan (stimuli) dari luar dirinya, baik berupa rangsangan pemasaran maupun rangsangan dari lingkungannya yang lain. Rangsangan tersebut kemudian diproses (diolah) dalam diri, sesuai dengan karakteristik pribadinya, sebelum akhirnya diambil keputusan pembelian. Karakteristik pribadi konsumen yang dipergunakan untuk memproses rangsangan tersebut sangat komplek, dan salah satunya adalah motivasi konsumen untuk membeli.

Dari uraian diatas, maka penulis dapat menarik suatu rumusan masalah bahwa konsumen dalam melakukan tindakan pembelian didasari oleh satu atau beberapa alasan yang timbul baik dari luar ataupun dari dalam diri mereka mengapa mereka melakukan tindakan tersebut. Alasan-alasan tersebut dikenal sebagai motivasi konsumen dalam membeli suatu produk. Tapi sebenarnya apa sih yang dimaksud motivasi itu?


MOTIVASI

Menurut Wells dan Prensky (1996), motivasi sebagai titik awal dari semua perilaku konsumen, yang merupakan proses dari seseorang untuk mewujudkan kebutuhannya serta memulai melakukan kegiatan untuk memperoleh kepuasan. Sedangkan Schiffman dan Kanuk (2007) menyatakan bahwa motivasi sebagai kekuatan dorongan dari dalam diri individu yang memaksa mereka untuk melakukan tindakan. Kekuatan dorongan tersebut dihasilkan dari suatu tekanan yang diakibatkan oleh belum atau tidak terpenuhinya kebutuhan, keinginan dan permintaan. Kemudian bersama-sama dengan proses kognitif (berfikir) dan pengetahuan yang sebelumnya didapat, maka dorongan akan menimbulkan perilaku
untuk mencapai tujuan atau pemenuhan kebutuhan. Proses ini dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 1 :














Gambar 1:
Model Proses Motivasi (Schiffman dan Kanuk, 2007)




Didalamnya digambarkan motivasi sebagai keadaan tertekan karena dorongan kebutuhan yang “membuat” individu melakukan perilaku yang menurut anggapannya akan memuaskan kebutuhan dan dengan demikian akan mengurangi ketegangan. Apakah kepuasan akan benar-benar tercapai tergantung pada tindakan yang akan dilakukan. Tujuan khusus yang ingin dicapai konsumen, dan rangkaian tindakan yang mereka ambil untuk mencapai semua tujuan ini, dipilih atas dasar proses berpikir (kesadaran) dan proses belajar sebelumnya.

Dengan demikian, jika seseorang mempunyai motivasi yang tinggi terhadap obyek tertentu, maka dia akan terdorong untuk berperilaku menguasai obyek tersebut. Sebaliknya jika motivasinya rendah, maka dia akan mencoba untuk menghindari obyek yang bersangkutan. Implikasinya dalam pemasaran adalah kemungkinan orang tersebut berminat untuk membeli produk/merek yang ditawarkan pemasar atau tidak.

KEBUTUHAN

Seperti kita ketahui pemasar tidak menciptakan kebutuhan, akan tetapi menemukan dan menyadarkan konsumen akan kebutuhan yang ada dalam dirinya sehingga mereka terdorong untuk memenuhi kebutuhannya tersebut melalui produk yang diciptakan oleh produsen (Kotler: 2004). Schipfman dan Kanuk (2007) mengatakan, setiap orang mempunyai berbagai kebutuhan; beberapa darinya adalah kebutuhan sejak lahir; yang lain adalah yang diperoleh kemudian.
• Kebutuhan dasar
Yaitu kebutuhan yang bersifat fisiologis (biogenis), yang meliputi kebutuhan akan makanan, air, udara, pakaian, perumahan, dan seks. Disebut juga kebutuhan primer motif primer
• Kebutuhan perolehan (acquired need)
Merupakan kebutuhan yang kita pelajari sebagai jawaban terhadap kebudayaanng, atau lingkungan kita. Mencakup kebutuhan untuk memperoleh penghargaan diri, martabat, kasih sayang, kekuasaan, dan pengetahuan. Kebutuhan ini bersifat psikologiss (psikogenis). Disebut juga kebutuhan sekunder atau motif sekunder.


SASARAN

Sasaran adalah hasil yang diinginkan dari perilaku yang didorong oleh motivasi. Sasaran umum yaitu, kelas atau kategori sasaran secara umum yang dopandang konsumen sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Contoh, keinginan untuk mencapai sarjana adalah sasaran umum, tetapi bila mengatakan ingin memperoleh gelar sarjana ekonomi manajemen pemasaran adalah sasaran khusus. Para pemasar terutama lebih memperhatikan berbagai sasaran produk khusus, yaitu berupa berbagai produk dengan merek khusus yang dipilih konsumen sebagai sasaran mereka.

Analisis sasaran hasil (means end analysis) merupakan cara lain untuk meninjau paradigma sasaran kebutuhan. Bebrapa individu menetapkan hasil yang diingini atas dasar nilai-nilai pribadi mereka, dan memilih sarana (atau perilaku) yang mereka percayai dapat membantu mereka mencapai sasaran yang mereka inginkan. Misalnya bahwa nilai pribadi itu adalah kesehatan yang baik. Seseorang mungkin memandang beberapa perilaku tertentu (misalnya olah raga, gizi yang baik, kebersihan) sebagai sarana untuk mencapai kesehatan yang baik (sasaran yang diinginkan).

Untuk setiap kebutuhan tertentu, ada beberapa sasaran yang berbeda dan sesuai. Sasaran yang dipilih individu tergantung pada pengalaman pribadi, kemampuan fisik, norma dan nilai yang berlaku , serta kemudahan mencapai sasaran itu dalam lingkungan fisik dan sosial. Persepsi seseorang mengenai dirinya sendiri juga membantu untuk mempengaruhi sasaran khusus yang dipilih. Berbagai produk yang dimiliki, ingin dimiliki, atau tidak ingin dimiliki oleh seseorang sering dilihat dari sudut seberapa tepatnya produk itu mencerminkan (atau sama dengan) citra diri orang tersebut. Tipe rumah yang didiami orang, mobil yang mereka kendarai, pakaian yang mereka pakai, makanan yang mereka makan – berbagai sasaran khusus ini sering dipilih secara simbolis untuk mencerminkan citra diri individu ketika mereka memenuhi berbagai kebutuhan khusus.

MOTIVASI POSITIF DAN NEGATIF

Beberapa psikolog menyebut dorongan posistif sebagai kebutuhan, keinginan, atau hasrat dan menyebut dorongan negative sebagai rasa takut atau keengganan. Beberapa pakar teori membedakan antara keinginan dan kebutuhan dengan mendefinisikan keinginan sebagai kebutuhan akan produk khusus. Para pakar lain membedakan antara hasrat dan kebutuhan serta keinginan. Mereka percaya bahwa hasrat konsumen meliputi “emosi yang kuat dan nafsu (keinginan besar) yang kuat” yang dinyatakan melalui pemakaian metafora (kiasan) yang positif dan negative.

Sasaran juga dapat positif atau negative tergantung objeknya. Positif didekati sedangkan negative dijauhi. Sasaran yang didekati maupun yang dijauhi dapat dianggap obyek dari perilaku yang dodorong oleh motivasi.

Kadang-kadang orang tergerak oleh ancaman atau hilangnya kebebasan perilaku (sebagai contoh, kebebasan untuk melakukan pilihan produk tanpa pengaruh yang tidak semestinya dari penjual). Kadaan ini disebut reaksi psikologis dan biasanya dinyatakan dengan tanggapan konsumen yang negative.

MOTIF RASIONAL DAN EMOSIONAL

Motif rasional menganggap bahwa para konsumen berperilaku rasional jika mereka secara teliti mempertimbangkan semua alternative dan memilih alternative yang memberikan keguanaan yang terbesar kepada mereka. Dalam konteks pemasaran, istilah rasionalitas menyatakan bahwa para konsumen memilih sasaran didasarkan pada criteria yang betul-betul objektif, seperti ukuran, berat, harga, dll. Motif emosional mengandung arti pemilihan sasarannya menurut criteria pribadi atau subjektif (sebagai contoh kebanggan, ketakutan, kasih sayang atau status)

SIFAT DINAMIS MOTIVASI

Beberapa alasan mengapa kegiatan manusia yang didorong kebutuhan tidak pernah berhenti adalah sebagai berikut:
1. banyak kebutuhan yang tidak terpuaskan sepenuhnya
kebutuhan tersebut terus mendorong tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai atau memepetahankan kepuasan.
2. setelah kebutuhan terpuaskan, kebutuhan yang baru dan urutannya lebih tinggi timbul yang menyebabkan tekanan dan mendorong kegiatan.
3. orang-orang yang berhasil mencapai sasaran mereka menetapkan sasaran baru dan lebih tinggi untuk diri mereka.

KESUKSESAN DAN KEGAGALAN MEMPENGARUHI SASARAN

Sifat dan kegigihan perilaku seseorang sering dipengaruhi oleh harapan atas kesuksesan atau kegagalan dalam mencapai sasaran tertentu. Jadi, harapan tersebut didasarkan pada pengalaman yang lalu. Semua pengaruh kesuksesan dan kegagalan terhadap pemilihan sasaran mempunyai implikasi strategi bagi pelaku pemasaran. Sasaran harus dapat dicapai secara wajar. Iklan tidak boleh menjanjikan lebihi daripada yang dapat diberikan produk. Produk sering dinilai berdasarkan besarnya kesenjangan antara harapan konsumen dan kegunaaan serta manfaat yang dapat diberikan oleh produk itu secara objektif. Jadi produk yang baguspun tidak akan dibeli lagi jika gagal memenuhi harapan semula, bagaimanapun tidak realistisnya harapan tersebut.

SASARAN PENGGANTI

Jika sesorang tidak dapat mencapai sasaran atau jenis sasaran khusus yang diharapkannya dapat memenuhi kebutuhan tertentu, perilakunya mungkin akan diarahkan ke sasaran pengganti. Walaupun sasaran pengganti mungkin tidak memuaskan seperti sasaran primer, sasaran pengganti tersebut mungkin cukup untuk menghilangkan tekanan yang tidak menyenangkan.

MEKANISME PERTAHANAN

Mekanisme pertahanan kadang-kadang digunakan orang untuk melindungi ego mereka dari perasaan kegagalan ketika mereka tidak dapat mencapai sasaran mereka. Mekanisme pertahanan mencakup:
1. agresi
2. rasionalisasi
3. regresi
4. penarikan diri
5. proyeksi
6. autisme
7. identifikasi
8. represi


PEMICU BERBAGAI MOTIF

Kebanyakan kebutuhan khusus perorangan seringkali tidak disadari oleh yang bersangkutan. Pemicunya antara lain:
1. Psiologis
2. emosional
3. kesadaran
4. lingkungan


JENIS & SISTEM KEBUTUHAN

Pada tahun 1938, psikolog Henry Murray mempersiapkan daftar yang terinci mengenai 28 kebutuhan psikogenis yang telah menjadi konsepsi dasar bagi sejumlah uji kepribadian yang digunakan secara luas. Murray percaya bahwa setiap orang mempunyai tingkat prioritas yang berbeda terhadap semua kebutuhan ini. Kebutuhan dasar Murray meliputi berbagai penguasaann, pencapaian, pengakuan, dan kesukaan pamer

1 . Hierarki Kebutuhan
Dr. Abraham Maslow, psikolog klinis, menyusun teori motivasi manusia yang diterima secara luas berdasarkan pada gagasan mengenai hierarki kebutuhan manusia yang universal. Teori Maslow mengenal 5 tingkat dasar kebutuhan manusia, yang diurutkan berdasarkan pentingnya dari tingkat kebutuhan yang lebih rendah (biogenis) ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi (psikogenis). Teori tersebut mendalilkan bahwa individu berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih rendah sebelum timbul tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Tingkat kebutuhan paling rendah yang terus menerus tidak terpenuhi yang dialami seseorang akan membantu memotivasi perilakunya. Jika kebutuhan tersebut sudah terpenuhi dengan “ cukup baik”, kebutuhan baru (dan lebih tinggi) akan timbul sehingga orang terdorong untuk memenuhinya. Jika kebutuhan ini sudah terpenuhi, kebutuhan baru ( yang lebih tinggi lagi ) akan timbul, dan seterusnya. Sudah tentu kebutuhan yang lebih rendah tingkatnya hilang / terampas lagi, untuk sementara mungkin menjadi menonjol kembali.


Kebutuhan Fisiologis.
Dalam teori hierarki kebutuhan, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia tingkat pertama dan paling dasar. Kebutuhan ini, yang diperlukan untuk menunjang kehidupan biologis, meliputi makanan, air, udara, perumahan, pakaian, seks. Semuanya merupakan kebutuhan biogenis, yang sebelumnya disebut kebutuhan primer. Menurut Maslow, kebutuhan fisiologis menonjol jika kebutuhan tersebut terus menerus tidak dapat dipenuhi.
kebutuhan akan keamanan
Kebutuhan ini jauh lebih besar dari sekadar keamanan fisik, meliputi ketertiban, stabilita, kebiasaan sehari hari, keakraban, dan pengendalian atas kehidupan diri dan lingkungan.
kebutuhan Sosial
Tingkat hierarki Maslow yang ketiga meliputi berbagai kebutuhan seperti cinta, kasih sayang, pemilikan dan penerimaan. Orang mencari kehangatan dan memenuhi kebutuhan hubungan antar manusia dengan orang lain dan didorong oleh cinta kepada keluarga mereka
• Kebutuhan akan kepentingan diri sendiri (egoistic)
Jika berbagai kebutuhan sosial sedikit banyaknya sudah terpenuhi, tingkat hierarki Maslow yang keempat menjadi berlaku. Kebutuhan ini dapat berorientasi ke dalam maupun keluar diri, atau kedua – duanya.
Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kepuasan ini mengacu pada keinginan individu untuk melengkapi kemampuannya – untuk menjadi apa saja yang ia mampu raih. Dalam kata – kata Maslow “ Orang menjadi apa pun yang dapat dicapai dengan kemamppuan maksimalnya”
Evaluasi terhadap Hierarki Kebutuhan
Teori hierarki kebutuhan Maslow mendalilkan 5 tingkat hierarki kebutuhan manusia yang utama. Hierarki kebutuhan telah diterima secara luas diberbagai disiplin ilmu pengetahuna sosial karena kelihatan mencerminkan berbagai motivasi yang diduga atau diperkirakan diunyai banyak orang dalam masyarakat kita. Masalah utama dengan teori ini adalah bahwa teori ini tidak dapat diuji secara empiris; tidak ada cara untuk mengukur dengan tepat seberapa besar kepuasan seseorang harus tercapai sebelum kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi mempunyai pengaruh. Walaupun ada kritik seperti ini, hierarki maslow merupakan alat yang sangat berguna untuk memahami motivasi konsumen dan dapat disesuaikan dengan mudah dengan strategi pemasaran, terutama karena barang – barang konsumen sering digunakan untuk memenugi setiap tingkat kebutuhan.
Penerapan Segmentasi
Hierarki kebutuhan sering digunakan sebagai dasar segmentasi pasar, yakni daya tarik iklan khusus membidik satu atau lebih tingkat kebutuhan segmen
Penerapann Pengaruh Posisi
Tujuan penggunaan hierarki kebutuhan yang lain adalah untuk mengatur posisi produk, yaitu memutuskan cara menempatkan produk kedalam pikirian para calon konsumen. Kunci untuk pengaturan posisi adalah menemukan relung – yaitu kebutuhan yang tidak terpuaskan yang tidak ditempati oleh produk atau merek yang bersaing.
Keragaman Penggunaan Hierarki Kebutuhan.
Salah satu cara untuk menggambarkan kegunaan hierarki kebutuhan dalam merencanakan berbagai program promosi adalah dengan menunjukkan bagaimana daya tarik yang bekerja baik pada produk tunggal tertentu dapat dikembangkan ke setiap tingkat.

Tiga Kelompok Kebutuhan

• Kekuasaan
Kebutuhan kekuasaan berkaitan dengan keinginan individu untuk mengendalikan lingkungannya. Termasuk didalamnya kebutuhan untuk mengendalikan orang lain dan objek. Kebutuhan ini berkaitan erat dengan kebutuhan ego dimana banyak individu mengalami peningkatan rasa harga diri ketika mereka menggunakan kekuasaan terhadap berbagai objek atau orang. Kebutuhan untuk mengendalukan lingkungan seseorang juga dapat digolongkan kedalam kebutuhan akan keamanan dalam teori Maslow
• Afiliasi
Afiliasi merupakan motif sosial yang terkenal dan sudah banyak diteliti yang mempunyai pengaruh luas terhadap perilaku konsumen. Kebutuhan akan afiliasi menyatakan kesan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh keinginan untuk memperoleh persahabatan, penerimaan dan utnuk menjadi bagian.Kebutuhan ini serupa sekali dengan kebutuhan sosial Maslow
• Pencapaian Prestasi
Kebutuhan untuk berprestasi erat kaitannya dengan kebutuhan egoistis maupun kebutuhan aktualisasi diri. Orang yang mempunyai kebutuhan yang mempunyai yang tinggi untuk berprestasi cenderung lebih percaya diri, senang mengambil resiko yang diperhitungkan, secara aktif mengamati lingkungan mereka, dan menghargai umpan balik. Ringkasnya individu yang mempunyai kebutuhan psikologis yang khusus cenderung bersifat mau menerima daya tarik iklan yang membidik kebutuhan itu. Jadi pengetahuan mengenai teori motivasi memberikan dasar-dasar tambahan kepada para pemasar untuk membagi pasar-pasar mereka.




PENGUKURAN MOTIF

Riset Motivasi

Ada tiga metode yang umum digunakan untuk mengenali dan “mengukur” motif manusia: observasi dan dugaan, laporan subyektif, dan riset kualitatif. Tidak ada diantara semua metode ini yang benar-benar dapat diandalkan secara sendiri-sendiri. Karena itu, para peneliti sering menggunakan gabungan dua atau tiga teknik untuk menilai adanya atau kekuatan berbagai motif konsumen. Riset motivasi merupakan riset kualitatif yang direncanakan untuk mengadakan riset di bawah tingkat kesadaran konsumen. Walaupun ada beberapa kelemahan, riset motivasi terbukti sangat berharga bagi para pemasar berkaitan dengan usaha untuk mengembangkan berbagai gagasan baru dan daya tarik naskah iklan yang baru.

PENUTUP

Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumen dalam mlakukan tindakan pembelian umumnya digerakan oleh alasan yang timbul dari dalam diri maupun lingkungan yang mempengaruhinya. Motivasi merupakan tenaga penggerak dalam diri individu yang mendorong mereka bertindak. Semua perilaku berorientasi kepada tujuan. Tujuan merupakan hasil yang dicari perilaku yang mendapat rangsangan. Bentuk atau arah yang diambil perilaku-tujuan yang dipilih-merupakan hasil proses berpikir (kesadaran) dan proses belajar sebelumnya.
Kebutuhan merupakan dasar dari motif itu sendiri, yaitu kebutuhan yang dibawa sejak individu lahir-bersifat fisiologis; meliputi semua factor yang dibutuhkan untuk menopang kebutuhan fisik (misalnya makanan, air, pakaian, peruamahan, dll). Kebutuhan perolehan – yaitu kebutuhan yang dikembangkan individu sesudah lahir terutama bersifat psikologis, meliputi cinta, penerimaan, penghargaan, dan pemenuhan diri. Kebutuhan dan tujuan saling tergantung dan berubah sebagai respon dari keadaan fisik, lingkungan, interaksi dengan orang lain, dan pengalaman individu.

Jadi penulis merekomendasikan bagi para pemasar untuk melakukan riset motivasi konsumen, walaupun tidak lepas dari berbagai kelemahan riset motivasi berharga bagi para pemasar berkaitan dengan usaha untuk mengembangkan berbagai gagasan baru dan daya tarik naskah iklan yang baru.
by andy lala

Sabtu, 15 Mei 2010

ETIKA DALAM KOMUNIKASI PEMASARAN


I. PENDAHULUAN

Persaingan di antara perusahaan untuk mendapatkan pelanggan bukan merupakan hal yang aneh lagi. Perusahaan giat melakukan banyak kegiatan pemasaran, beberapa praktisi pemasaran memperkirakan bahwa konsumen disuguhi kurang lebih dari 1000 buah iklan setiap harinya (Marsden, 2006 dan Shenk, 1998). Di Indonesia sendiri, menurut penelitian dari lembaga AC Nielsen tingkat kepadatan iklan televisi mencapai angka kurang lebih 1000 buah iklan per minggu. Rata-rata orang dewasa Indonesia menonton iklan televisi sebanyak 850 buah iklan per minggu, sedangkan ibu-ibu rumah tangga menonton iklan lebih banyak lagi yakni 1200 buah iklan per minggu (Kuswati, 2007).
Tingginya tingkat kepadatan iklan (televisi) dan banyaknya jumlah iklan yang ditonton oleh masyarakat menjadikan iklan sebagai salah satu alat pemasaran yang dapat memiliki pengaruh pada masyarakat. Iklan dapat memberikan pengaruh positif jika iklan tersebut bersifat mendidik dan sebaliknya dapat memberikan pengaruh negatif jika tidak mendidik. Bersifat mendidik dalam artian iklan tersebut tidak memberikan informasi yang terlalu berlebihan, dan menyesatkan dalam membujuk konsumen. Terdapat beberapa iklan yang diberikan kepada konsumen bersifat tidak mendidik. Hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi pelanggan, karena dapat menciptakan mind-set yang cenderung tidak masuk akal (logika) bagi konsumen dan merusak moral masyarakat. Di samping itu iklan yang bersifat tidak mendidik, juga memiliki arti iklan tersebut tidak memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen, sehingga konsumen seringkali dibodohi.
Hal ini tidak terlepas dari benar atau salah, atau tindakan moral yang berkenaan dengan setiap aspek komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Sehingga setiap perusahaan atau para marketer tidak hanya mengejar publisitasnya saja mengenai brand maupun produk yang mereka usung ke masyarakat, tetapi memikirkan juga dampak maupun implikasi dari apa yang akan, sedang, maupun telah mereka kominikasikan kemasyarakat dalam bentuk iklan maupun bauran promosi yang lainnya. Berbicara masalah etika memang sesuatu hal yang sangat dilematis bagi para marketer khususnya pengiklan, promotor penjualan, desainer kemasan, dan orang-orang yang terlibat didalamnya. Tetapi walaupun demikian etika tetap harus dijalankan khususnya yang berhubungan dengan regulasi, kebiasaan maupun kebudayaan Negara setempat yang menjadi target sasaran para marketer dalam mengkomunikasikan brand maupun produk yang mereka perkenalkan ke masyarakat, jika perusahaan atau marketer tersebut tidak mau terkena masalah regulasi yang telah ditetapkan oleh suatu Negara maupun class action yang dilakukan oleh masyarakat akibat komunikasi pemasaran yang dilakukan perusahaan atau marketer tersebut yang dianggap tidak etis atau melanggar etika.
Yang menjadi permasalahannya adalah komunikasi pemasaran ( baik iklan, promosi penjualan, personal selling, maupun publicity) seperti apakah yang beretika baik itu? Atau minimal tidak melanggar etika dimasyarakat. Sehingga suatu komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan atau marketer melalui media promotion mixnya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas tanpa mengurangi tujuan yang diinginkan.



II. Pengertian Etika

Sebelum memasuki pembahasan yang lebih mendalam alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian etika secara umum dan batasan-batasannya. Untuk memahami apa itu etika sesungguhnya kita perlu membandingkannnya dengan moralitas. Baik etika maupun moralitas sering dipakai secara dipertukarkan dengan pengertian yang sering disamakan begitu saja. Ini sesungguhnya tidak sepenunya salah. Hanya saja perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang sama sekali berbeda dengan moralitas (Keraf, 1998). Sehubungan dengan itu, secara teoritis kita dapat membedakan dua pengertian etika – kendati dalam penggunaan praktis sering tidak mudah dibedakan (Keraf, 1998). Pertama, etika berasal dari kata Yunani ethos, artinya adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakakat. Pada pengertian pertama ini etika mirip atau sama dengan moralitas yang berasal dari kata Latin mos dalam bentuk jamaknya mores berarti adat istiadat. Kedua, etika dimengerti sebagai filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian pertama diatas.

Sebagai sebuah ilmu yang menitikberatkan refleksi kritis dan rasional, etika dalam pengertian kedua ini lalu bahkan mempersoalkan apakah nilai dan norma moral tertentu memang harus dilaksanakan dalam situasi konkret tertentu yang dihadapi seseorang. Atau etika juga mempersoalkan apakah suatu tindakan yang kelihatan bertentangan dengan nilai dan norma tertentu harus dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dan karena itu harus dikutuk atau justru sebaliknya. Juga dipersoalkan, apakah dalam situasi konkret yang dihadapi memang harus bertindak sesuai dengan norma dan nilai moral yang ada dalam masyarakat ataukah justru sebaliknya dibenarkan untuk bertindak melawan nilai dan norma moral tertentu.

Pada tingkatan ini, etika lalu membutuhkan evaluasi kritis atas semua dan seluruh situasi yang terkait. Dibutuhkan semua informasi seluas dan selengkap mungkin baik menyangkut nilai dan norma moral, maupun informasi empiris tentang situasi yang bahkan belum terjadi atau telah terjadi untuk memungkinkan seseorang bisa mengambil keputusan yang tepat baik tentang tindakan yang akan dilakukan maupun tentang tindakan yang telah dilakukan oleh pihak tertentu. Dalam konteks ini, masuklah segala macam pertimbagan mengenai motif, tujuan, akibat, pihak terkena, berapa banyak orang yang terkena tindakan itu, besarnya resiko dibandingkan manfaat, keadaan psikis pelaku, tingkat intelegensia untuk menentukan sejauh mana pelaku menyadari tindakannya dan akibat dari tindakannya, dan seterusnya dan seterusnya.

Agar lebih konkret lagi, kita dapat mengambil contoh nilai dan norma kejujuran. Pertanyaan etis yang dihadapi pemasar adalah mengapa saya harus jujur mengkomunikasikan atau menawarkan (konkretnya) produk kepada masyarakat konsumen? Memang ada nilai dan norma tertentu bahwa kita harus jujur dalam bertindak sebagai manusia. Namun persoalannya adalah apakah memang dalam situasi konkret yang kita hadapi, kita harus jujur? Atau justru sebaliknya? Mengapa? Pertanyaan mengapa adalah pertanyaan paling penting, karena disanalah dasar moral tindakan jujur atau tidak jujur dalam pemasaran maupun bisnis bisa dilihat dan bisa dipakai untuk membenarkan atau tidak membenarkan tindakan pemasaran yang bersangkutan. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggung jawabkan.

III. Pengertian Komunikasi Pemasaran

A. Pengertian Komunikasi Pemasaran

Komunkasi sebagai dialog interaktif antara perusahaan dan pelanggannya yang berlangsung selama tahap pra penjualan, penjualan, pemakaian dan pasca pemakaian (Kotler, 2004). Perusahaan-perusahaan harus menanyakan bukan hanya “bagaimana kita dapat menjangkau pelanggan kita?” melainkan juga “Bagaimana pelanggan kita dapat menjangkau kita” disinilah peran seorang marketer dengan segala kreatifitasnya membuat komunikasi pemasaran menjadi efektif.

Komunikasi perusahaan mempunyai jangkauan yang lebih daripada unsure - unsur dalam proses komunikasi. Gaya dan harga produk, bentuk dan kemasannya, sikap dan pakaian wiraniaga, hiasan toko, alat alat tulis perusahaan – semuanya menyampaikan sesuatu kepada pembeli. Setiap kontak merek memberikan kesan yang dapat memperkuat atau memperlemah pandangan pelanggan tentang perusahaan tersebut. Seluruh bauran pemasaran harus dipadukan untuk memberikan pesan yang konsisten dan pemosisian yang strategis.

Titik tolaknya adalah semua kemungkinan interaksi yang mungkin dialami pelanggan sasaran dengan produk dan perusahaan tersebut. Contohnya, orang yang tertarik membeli computer baru akan bicara dengan orang-orang lain, melihat iklan televisi, membaca atikel, mencari informasi, dan mengamati computer ditoko maupun pameran. Marketer perlu menilai pengalaman dan kesan mana saja yang paling berpengaruh terhadap masing-masing tahap proses pembelian tersebut. Pemahaman ini akan membantu mereka mengalokasikan dana komunikasi dengan lebih efesien.

Selain itu dikenal pula istilah Integrated Marketing Communications/IMC (komunikasi pemasaran terpadu. Menurut Shimp dalam bukunya perikalanan promosi mengatakan bahwa IMC adalah proses pengembangan dan implementasi berbagai bentuk program komunikasi persuasive kepada pelanggan dan calon pelanggan secara berkelanjutan.
Tujuan IMC adalah mempengaruhi atau memberikan efek langsung kepada perilaku khalayak sasaran yang dimilikinya. IMC menganggap seluruh sumber yang dapat menghubungkan pelanggan atau calon pelanggan dengan produk atau jasa dari suatu merek atau perusahaan, adalah jalur yang potensial untuk menyampaikan pesan dimasa datang. Lebih jauh lagi, IMC menggunakan semua bentuk komunikasi yang relevan serta yang dapat diterima oleh pelanggan dan calon pelanggan. Dengan kata lain, proses IMC berawal dari pelanggan atau calon pelanggan, kemudiam berbalik kepada perusahaan untuk menentukan dan mendefinisikan bentuk dan metode yang perlu dikembangkan bagi program komunikasi yang persuasive.



Lima cirri utama IMC:
mempengaruhi perilaku
berawal dari pelanggan dan calon pelanggan
menggunakan satu atau segala cara untuk melakukan kontak
berusaha menciptakan sinergi
menjalin hubungan

Dari pengertian etika dan komunikasi pemasaran tersebut, maka penulis mencoba merumuskan pengertian etika komunikasi pemasaran sebagai komunikasi perusahaan dan pelanggannya yang diharapkan interaktif dalam proses pemasaran, sehingga menimbulkan hasil yang diharapkan oleh kedua belah pihak dengan beretika dengan dasar pemikiran yang rasional dan regulative.


IV. Masalah Etika Dalam Komunikasi Pemasaran

Relative mudah untuk mendefinisikan etika, namun sulit untuk mengidentifiikasi apa yang etis atau tidak etis dalam komunikasi pemasaran. Sebenarnya, diseluruh bidang pemasaran (seperti halnya di masyarakat) kurang tercipta consensus mengenai permasalahan etika. Walaupun tanpa consensus shimp dalam bukunya Periklanan dan Promosi mengidentifikasi praktik komunikasi pemasaran yang secara khusus bersinggungan dengan masalah etika yang mungkin bisa jadikan acuan untuk kita telaah secara bersama. Bagian-bagian tersebut antara lain
Usaha penentuan target komunikasi pemasaran (etika dalam Targeting)
Menurut kutipan yang tersebar luas mengenai konsep dan strategi pemasaran, perusahaan harus mengarahkan penawarannya kepada segmen pelanggan yang spesifik. Namun dilemma etika kadangkala muncul pada saat usaha memasarkan produk khusus dan melakukan komunikasi pemasaran yang diarahkan kepada segmen tertentu. Yang khusus mengundang perdebatan mengenai etika adalah praktek targeting dan usaha komunikasi kepada segmen yang- alasan psikososial dan ekonomis – rentan terhadap komunikasi pemasaran, seperti anak-anak dan kaum minoritas.
Contoh iklan Gatorade untuk anak-anak “alternative sehat untuk anak yang sedang kehausan” dikritik para ahki gizi dan para kritikus lainnya tidak penting bagi anak dan tidak lebih baik dari air putih.

Periklanan
Antara lain:
1. iklan dianggap tidak jujur dan menipu
2. iklan bersifat ofensif dan berselera buruk
3. iklan menciptakan dan mempertahankan streotife
4. orang-orang membeli barang yang tidak begitu diperlukan
5. iklan memanfaatkan rasa takut dan ketidakamanan

Hubungan Masyarakat
Masalah yang disorot disini adalah masalah publisitas negative. Masalah etis yang menjadi pertimbangan utama adalah apakah sebuah perusahaan mengakui kekurangan produknya dan membetihukan duduk perkaranya, atau mencoba menutupi permasalahan tersebut.

Personal Selling dan telemarketing
lapisan moral dari setiap orang merupakan penentu utama sejujur apa dirinya ketika berhadapan dengan pelanggan atau ketika melakukan penjualan melalui telepon. Struktur hukuman dan balas jasa dari suatu perusahaan juga mempengaruhi perilaku etis dari para sales person, namun seringkli ini amat tergantung dari kepribadian seseorang.

Komunikasi kemasan (packaging communication)
Empat aspek dalam pengemasan yang melibatkan masalah etis adalah:
1. informasi label
2. grafik pengemasan
3. keamanan pengemasan
4. implikasi pengemasan terhadap lingkungan

Promosi penjualan.
Promosi penjualan yang berorientasi konsumen (termasuk praktik-praktik seperti pemberian kupon, penawaran bonus, pengembalian, undian berhadiah, dan kontes) dapat bersifat tidak etis ketika promotor penjualan menawarkan sebuah penghargaan kepada konsumen tetapi tidak direalisasi – sebagai contoh, tidak mengirimkan bonus yang dijanjikan atau tidak mengirimkan cek potongan harga yang dijanjikan.

V. Menuju Komunikasi Pemasaran yang Etis

Tanggung jawab utama bagi perilaku etis adalah ditangan setiap orang yang berada dalam berbagai peran komunikasi pemasaran. Integritas mungkin merupakan konsep vital dalam sifat manusia. Walaupun sulit mencari definisi yang tepat, integritas menghindarkan kita melakukan penipuan terhadap orang lain atau mempunyai perilaku tak bermoral. Karenanya, komunikasi pemasaran sendiri terlepas dari masalah etis atau tidak etis – tingkat integritas yang ditunjukan oleh praktisi komunikasilah yang menentukan apakah perilaku mereka bersifat etis atau tidak etis ( Shimp: 2000)

Shimp dalam bukunya periklanan dan promosi mengatakan bisnis dapat menankan kebudayaan yang etis atau tidak etis dengan membangun ethical core values untuk memadukan perilaku komunikasi pemasaran. Dua core value yang akan terus berlaku dalam meningkatkan perilaku etis adalah:
1. memperlakukan konsumen dengan rasa hormat, perhatian, dan kejujuran – seperti halnya bagaimana anda ingin anda dan keluarga anda diperlakukan
2. memperlakukan lingkungan seolah olah sebagai milik anda pribadi

shimp juga menyarankan kepada perusahaan agar dapat mendorong perilaku komunikasi pemasaran yang etis kepada para pegawai dengan mengaplikasikan serangkaian tes berikut ini ketika berhadapan dengan masalah etika:
bertindak sebagaimana Anda ingin orang lain bertindak terhadap Anda (The Golden Rule)
hanya melakukan tindakan yang dianggap pantas oleh panel obyektif yang terdiri dari kolega professional anda (The Profesional Ethic)
selalu bertanya “apakah saya merasa nyaman menjelaskan tindakan ini melalui televise kepada khalayak umum?” (the TV test)

Memang tidak mudah untuk pemecahan masalah etika karena salah satu sifatnya yang kadang masih menimbulkan dilematis, tetapi penulis mencoba untuk menawarkan solusi yang bisa direnungkan dan ditelaah secara bersama-sama. Alternative tersebut antara lain:
1. Sebelum memutuskan untuk merealisasikan program komunikasi pemasaran yng dijalankan maka perlu mempertimbangkan mengenai motif, tujuan, akibat, pihak terkena, berapa banyak orang yang terkena tindakan itu, besarnya resiko dibandingkan manfaat, keadaan psikis pelaku, tingkat intelegensia untuk menentukan sejauh mana pelaku menyadari tindakannya dan akibat dari tindakannya, dan seterusnya dan seterusnya.
2. regulasi yang jelas dengan tidak mengabaikan kepentingan berbagai pihak
3. lebih mementingkan kepentingan jangka panjang bagi para pebinis dan marketer khususnya

VI. Penutup

Adapun kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah komunikasi pemasaran yang beretika itu merupakan komunikasi yang dilakukan oleh para marketer dengan berbagai strateginya dalam bentuk promotion mixnya dengan tidak bertentangan dengan adat istiadat maupun moral serta regulasi bila ada dalam masyarakat. Marketer diharapkan merasionalkan pemikirannya dalam menyusun promotion mixnya, bukan mencari pembenaran melalui irasional.

Adapun rekomendasi yang bisa penulis sampaikan adalah seperti alternative diatas, antara lain:

1. Sebelum memutuskan untuk merealisasikan program komunikasi pemasaran yang dijalankan maka perlu mempertimbangkan mengenai motif, tujuan, akibat, pihak terkena, berapa banyak orang yang terkena tindakan itu, besarnya resiko dibandingkan manfaat, keadaan psikis pelaku, tingkat intelegensia untuk menentukan sejauh mana pelaku menyadari tindakannya dan akibat dari tindakannya, dan seterusnya dan seterusnya.

2. regulasi yang jelas dengan tidak mengabaikan kepentingan berbagai pihak

3. lebih mementingkan kepentingan jangka panjang bagi para pebinis dan marketer khususnya.
by Andy Lala

Kamis, 13 Mei 2010

Customer Value

A. Pendahuluan

Peter Drucker mengamati bahwa tugas pertama perusahaan adalah “menciptakan pelanggan”. Sekalipun begitu, pelanggan menghadapi begitu banyak pilihan produk dan merek, harga, dan pemasok. Bagaimana cara mereka membuat pilihan?

Kami yakin bahwa pelanggan memperkirakan tawaran mana yang akan memberikan nilai paling besar. Pelanggan berusaha mendapatkan nilai maksimal, yang dibatasi oleh biaya pencarian, pengetahuan, mobilitas, dan pendapatan. Mereka membentuk harapan mengenai nilai dan melakukan tindakan atasnya. Kemampuan atau kegagalan suatu tawaran memenuhi harapan nilai akan mempengaruhi kepuasan dan pembelian kembali

Customer value adalah sebuah konsep yang paling banyak digunakan oleh pelaku bisnis. Ini adalah sebuah konsep sederhana dan dapat digunakan sebagai langkah awal perumusan strategi selanjutnya. Banyak keputusan strategis perusahaan atau pemilik merek menggunakan konsep ini sebagai landasan utamanya, walaupun seringkali tidak terformulasikan dengan baik. Mereka tidak menggunakan hitungan-hitungan sistematis dengan analisa data yang canggih tetapi melalui judgment.

Misalnya saja, sebuah perusahaan akan melakukan perubahan harga terhadap produknya. Beberapa pertimbangan akan muncul sebelum keputusan perubahan harga tersebut diputuskan seperti berapa harga maksimal untuk produk ini? Apakah konsumen masih akan membeli produk ini? Apakah harga yang ditetapkan terlalu mahal bila dibandingkan dengan harga pesaing?

Demikian pula, bagi pelaku bisnis yang berupaya untuk meningkatkan kualitas akan mengalami hal serupa. Mereka akan menghadapi beberapa pertanyaan dalam benaknya seperti apakah konsumen akan memandang kualitas sebagai suatu manfaat atau nilai tambah? apakah konsumen akan mengatakan bahwa produk tersebut berkualitas? apakah konsumen juga akan mengatakan bahwa produk saya lebih baik dari pesaing?

B. Pengertian Customer Value

Handi Irawan berpendapat “customer value didefinisikan sebagai semua manfaat atau kualitas yang diperoleh oleh konsumen relatif terhadap pengorbanannya. Diformulasikan secara matematis, customer value adalah total manfaat atau kualitas dibagi dengan harga. Selanjutnya, rumus ini bisa berkembang karena adanya dua aspek. Aspek tersebut adalah harga dan kualitas. Kedua aspek tersebut merupakan multidimensi”.

Komponen Kualitas Ada tiga komponen yang bisa mewakili kualitas. Pertama, Kualitas bisa berupa kualitas produk. Sebuah telepon genggam dikatakan berkualitas bila produk tersebut awet, tidak mudah rusak, memiliki desain yang bagus dan memiliki banyak fitur-fitur. Demikian pula, produk makanan seperti biskuit, dikatakan berkualitas bila rasanya enak, gurih, renyah dan lain-lain.

Kedua, Kualitas bisa berupa kualitas pelayanan. Industri jasa seperti Operator seluler akan lebih banyak menawarkan kualitas pelayanan. Di industri jasa seperti operator seluler, faktor intangibles menjadi komponen yang sangat penting. Mereka akan menambah komponen kualitas melalui pelayanan yang akurat, cepat, ramah dan sebagainya. Demikian pula, industri perbankan, asuransi, penerbangan, rumah sakit dan sebagainya, akan berlomba-lomba menambah value melalui kualitas pelayanan.

Ketiga, Kualitas juga bisa berarti emotional quality. Ini adalah kualitas yang dirasakan oleh konsumen karena pengaruh merek dan relationship (brand to customer experience). Mereka merasa bangga menggunakan merek-merek berkelas. Mereka yang menggunakan tas atau dasi dari Louis Vuitton, Versace akan merasa bangga dan puas. Mereka yang mengendarai mobil mewah seperti Mercedes-Benz dan BMW akan merasakan kebanggaan yang lebih. Demikian pula, produk seperti rokok juga memberikan kebanggaan kepada para perokok. Para perokok yang berasal dari golongan bawah akan merasa bangga ketika menghisap rokok yang pas dengan kepribadian mereka.

Faktor emosional ini bisa terjadi juga karena pelanggan memiliki relationship yang sangat kuat dengan perusahaan atau dengan sesama pelanggan. Mereka memiliki hubungan yang personal dan emosional. Pelanggan yang sudah diperlakukan dengan penuh empati dari seorang kepala cabang sebuah bank, akan merasakan manfaat dari hubungan yang dekat seperti ini. Karena itu, mereka akan mengatakan bahwa bank tersebut telah memberikan value yang tinggi di luar dari produk maupun kualitas pelayanannya.

Kompleksitas dari setiap komponen ini akan terus berkembang. Ini terjadi karena setiap komponen, kemudian memiliki puluhan atau bahkan ratusan atribut. Seperti kualitas pelayanan di sebuah perbankan misalnya, mungkin memiliki sekitar 200 hingga 300 atribut spesifik dari pelayanan.

Lalu, bagaimana dengan harga? Sama seperti dengan kualitas. Harga juga bersifat multidimensi. Harga absolut memang seperti yang tertera dari label atau berapa yang dibayarkan kepada pihak penjual. Ambil contoh misalnya, harga sebuah prodok otomotif, akan melibatkan juga harga jual kembali di kemudian hari dan juga harga suku cadang beserta biaya bengkelnya. Bisa juga, untuk industri otomotif, harga ini bisa juga termasuk suku bunga dan besarnya uang muka dari perusahaan leasing atau pembiayaan.

Melihat perkembangan dari turunan-turunan komponen ini, tidak mengherankan bahwa dibutuhkan kreatifitas yang tinggi dari para marketer untuk mengelola customer value. Kemenangan dari suatu merek, seringkali ditentukan oleh seberapa mampu mereka menyampaikan superior customer value kepada konsumen atau pelanggannya.

Pertanyaan yang mendasar adalah, apa pilihan Anda dalam berkompetisi? apakah Anda ingin bersaing dengan harga murah? Apakah ingin bersaing dengan menggunakan kualitas sebagai cara untuk melakukan diferensiasi? Atau, apakah mungkin memberikan super value yaitu harga yang murah dengan kualitas super?


Menurut Hanny N. Nasution dan Felix T.M dalam jurnalnya customer value didefinisifinisikan sebagai a trade-off antara total keuntungan yang diterima and total pengorbanan yang dikeluarkan. istilah "trade-off" is diusulkan dalam penggambaran order [27] Holbrook's (1999)

Persepsi Nilai Pelanggan

Nilai Pelanggan Total adalah nilai uang dalam pikiran pelanggan yang merupakan gabungan dari nilai ekonomi, fungsional, psikologis, yang diharapkan pelanggan dari suatu tawaran pasar. Biaya Pelanggan Total adalah gabungan biaya yang menurut pelanggan akan timbul dalam proses evaluasi, pemerolehan, penggunaan, dan pembuangan suatu tawaran tertentu (Kotler,dkk, 2004).

Kepuasan Total Pelanggan

Secara umum, kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa yang timbul dari membandingkan persepsi tentang kinerja (atau hasil) dari suatu produk dengan harapan yang dimiliki. Jika kinerja gagal memenuhi harapan, pelanggan kecewa. Jika kinerja menyamai harapan, pelangan puas. Jika kinerja melampaui harapan, pelanggan amat puas atau terpukau.

Harapan Pelanggan

Bagaimana pembeli membentuk harapan mereka? Dari pengalaman pembelian sebelumnya, saran dari teman, dan informasi serta janji dari pemasar dan pesaing. Jika pemasar menaikan harapan terlalu tinggi, pembeli cenderung akan kecewa. Sekalipun demikian, jika harapan ditetapkan terlalu rendah, tidak cukup banyak pembeli yang tertarik (sekalipun barang itu akan memuaskan mereka yang membelinya).

Memberikan Nilai Pelanggan yang Tinggi

Tawaran nilai terdiri dari seluruh manfaat yang dijanjikan untuk diberikan oleh perusahaan; lebih dari sekedar penetapan posisi inti dari tawaran tersebut. Sebagai contoh, penetapan inti Volvo terletak pada “keamanan”, tetapi pembeli diberi janji lebih dari sekadar sebuah mobil yang aman; manfaat yang lain termasuk mobil yang berusia pakai panjang, layanan yang baik, periode garansi yang panjang. Sistem penyerahan nilai meliputi semua pengalaman yang akan didapatkan oleh pelanggan saat mendapatkan dan mempergunakan tawaran tersebut.

Alat-alat untuk memeriksa dan mengukur kepuasan pelanggan:
• Sistem keluhan dan saran
• Survei keluhan pelanggan
• Belanja misterius
• Analisis hilangnya pelanggan

Mengukur Kepuasan pelanggan

Saat pelanggan menilai tingkat tingkat kepuasan mereka dengan salah satu unsure kinerja perusahaan, misalnya pengiriman – prusahaan perlu memahami bahwa para pelanggan mendefinisikan pengiriman yang baik secara berbeda-beda. Hal itu bisa berarti pengiriman yang datang lebih awal, pengiriman tepat waktu, kelengkapan pesanan, dll.

Factor-faktor Penentu Bisnis Bekinerja Tinggi
1. Pemegang Kepentingan (Stakeholder)
Dewasa ini, semakin banyak perusahaan yang menyadari bahwa jika mereka tidak memuaskan pemegang kepentingan (stakeholders) yang lain – pelanggan, karyawan, pemasok, distributor – perusahaan itu tak pernah bisa mencapai keuntungan yang cukup bagi pemegang saham.
2. Proses
Sebuah perusahaan bisa mencapai tujuan bagi para stakeholdernya dengan mengelola dan menyambungkan proses kerja. Para perusahaan berkinerja tinggi semakin berfokus pada kebutuhan untuk mengelola proses bisnis inti, seperti pengembangan produk baru, menari dan mempertahankan pelanggan, dan pemenuhan pemesanan.
3. Sumber Daya
Untuk menjalankan proses bisnisnya, sebuah perusahaan memerlukan sumber daya – tenaga kerja, material, mesin, informasi, dan energi. Beberapa perusahaan mengelola sumber daya manusia mereka dengan hati-hati untuk memastikan layanyanan dan kepuasan pelanggan. Kuncinya adalah memiliki dan menumbuhkan sumber daya dan kompetensi inti yang terpenting bagi bisnis. Kompetensi inti memiliki tiga karakteristik;
• Memiliki sumber keunggulan kompetitif karena membuat sumbangan yang penting terhadap persepsi manfaat konsumen
• Memiliki pemanfaatan yang luas ke berbagai bidang pasar
• Sulit untuk ditiru oleh competitor
Keunggulan kompetitif juga semakin bertambah pada perusahaan yang memiliki keterampilan menonjol. Jika kompetensi inti cenderung untuk dipakai hanya bagi keahlian-keahlian teknis dan produksi, keterampilan menonjol bisa dipakai untuk menjelaskan keunggulan dalam proses bisnis yang lebih luas, seperti berhubungan dengan pelanggan dan ikatan dengan saluran pmasaran.
4. Organisasi dan Budaya Organisasi
Organisasi perusahaan terdiri atas stuktur, kebijakan, dan budaya perusahaan, yang semuanya bisa menjadi tak berfungsi di dalam lingkungan bisnis yang berubah amat drastis. Apa sebenarnya budaya perusahaan itu? Beberapa orang mendefinisikannya sebagai “pengalaman, kisah, keyakinan, dan norma-norma bersama yang menjadi karakter organisasi”.

Memberikan Nilai dan Kepuasan Pelanggan

a. Rantai Nilai

Michael Porter mengajukan rantai nilai sebagai alat untuk mengidentifikasi cara-cara untuk menciptakan nilai pelanggan yang lebih besar. Rantai nilai mengidentifikasi Sembilan aktivitas yang relevan secara strategis yang menciptakan nilai ini terdiri dari lima aktivitas utama dan empat aktivitas pendukung.
Aktivitas utama mencakup urutan dari membawa material kedalam bisnis (logistic masuk), mengubah menjadi produk jadi (produksi), mengirimkan produk jadi (logistic keluar), memasarkan (pemasaran dan penjualan), dan melayani hal itu (pelayanan), aktivitas pendukung – pengadaan, pengembangan teknologi, manajemen sumber daya manusia, dan infrastruktur perusahaan – ditangani oleh departemen khusus.
Setiap departemen telah memasang tembok yang memperlambat penyerahan layanan pelanggan yang berkualitas. Solusi terhadap masalah ini adalah memberikan penekanan yang lebih besar terhadap kelancaran pengelolaan proses bisnis inti.
Proses bisnis inti ini termasuk, sbb:
• Proses meraba pasar. Aktivitas yang mencakup antara lain mengumpulkan intelejen pasar, menyerahkan pengetahuan dalam organisasi, dan bertindak berdasar informasi
• Proses realitas tawaran baru. Aktivitas yang mencakup antara lain meneliti, mengembangkan dan meluncurkan tawaran-tawaran baru berkualitas tinggi dengan cepat dan dalam batas-batas anggaran
• Proses mendapatkan pelanggan. Aktivitas yang mencakup antara lain mendefinisikan pasar-pasar sasaran dan melakukan pencarian pelanggan baru
• Proses manajemen hubungan pelanggan. Aktivitas yang mencakup antara lain membangun pemahaman, hubungan, dan tawaran yang lebih mendalam bagi masing-masing pelanggan.
• Proses manajemen pelaksanaan. Aktivitas yang mencakup antara lain menerima dan menyetujui pesanan, mengirimkan barang tepat waktu, dan mengumpulkan pembayaran.

b. Jaring Penyerahan Nilai

Agar berhasil, sebuah perusahaan juga perlu untuk mencari keunggulan kompetitif diluar perusahaannya sendiri, yakni ke rantai-rantai nilai pemasok, distributor, dan pelanggan. Beberapa perusahaan bermitra dengan pemasok dan distributor tertentu untuk membentuk jarring penyerahan nilai (disebut juga rantai pasokan)
Jaring penyerahan nilai menghubungkan perusahaan dengan pemasok dan distributor. Dengan sitem ini, barang-barang diproduksi berdasarkan permintaan dan bukan diadakan karena suplai produksi.

Menarik dan Mempertahankan Pelanggan
Selain bekerja dengan para mitra – disebut manajemen hubungan kemitraan – banyak perusahaan yang juga bermaksud untuk membangun ikatan lebih kuat dengan para pelanggan – yang disebut manajemen hubungan pelanggan (customer relationship management/CRM). Ini merupakan proses untuk mengelola informasi yang terperinci mengenai masing-masing pelanggan dan dengan hati-hati mengelola semua “titik sentuh” (touchpoint) dengan pelanggan, dengan tujuan untuk memaksimalkan loyalitas pelanggan

Menarik Pelanggan
Hal ini dilakukan dengan cara:
• Masang iklan
• Merimkan surat (direct mail) dan telepon (telemarketing)
• Pameran perdagangan
• Dll

Kebutuhan untuk Mempertahankan Pelanggan
Kunci dari mempertahankan pelanggan adalah terletak pada kepuasan pelanggan.

Manajemen Hubungan Pelanggan (Customer Relationship Management/CRM
Tujuan dari CRM adalah menghasilkan ekuitas pelanggan yang tinggi. Ekuitas pelanggan adalah total nilai masa hidup pelanggan terdiskonto dari seluruh pelanggan perusahaan. Sudah jelas, semakin setia para pelanggan, semakin tinggi ekuitas pelanggan. Rust, Zeithaml, dann Lemon menunjukan tiga pendorong ekuitas pelanggan: ekuitas nilai, ekutas merek, dan ekuitas hubungan.
Berapa banyak yang harus diinvestasikan oleh perusahaan dalam membangun loyalitas sehingga biayanya tidak melampui keuntungan yang diperoleh? Kami perlu menunjukan lima tingkatan investasi untuk membangun hubungan dengan pelanggan.
1) Pemasaran dasar. Tenaga penjual menjual produk
2) Pemasaran reaktif. Tenaga penjual menjual produk dan mendorong pelanggan untuk
menghubungi jika dia memiliki pertanyaan, komentar, atau keluhan.
3) Pemasaran bertanggung jawab. Tenaga penjual menghubungi pelanggan untuk memeriksa
apakah produk memenuhi harapan. Penjual juga meminta saran perbaikan produk atau
layanan dari pelanggan jika ada kekecewssn ysng timbul.
4) Pemasaran proaktif. Tenaga penjual menghubungi pelanggan dari waktu ke waktu dengan
saran mengenai penggunaan tambahan produk atau produk baru
5) Pemasaran kemitraan. Perusahaan bekerja secara terus-menerus dengan pelnggan besar
untuk membantu menngkatkan kinerja

Membentuk Ikatan yang kuat dengan Pelanggan
Prusahaan yang ingin membentuk ikatan yang kuat dengan pelanggan perlu menjalankan dasar-dasar berikut ini.
• Dapatkan partisipasi lintas departemen dalam proses perencanaan dan pengelolaan kepuasan
dan mempertahankan pelanggan
• Mengintegrasikan suara pelanggan ke dalam semua keputusan bisnis
• Menciptakan produk , layanan dan pengalaman yang lebih unggul bagi pasar sasaran
• Menyusun dan memudahkan akses bagi pangkalan data informasi mengenai kebutuhan,
kesenangan, kontak, frekuensi, pembelian, dan kepuasan pelanggan
• Memudahkan pelanggan untuk menghubungi personil peusahaan yang dibutuhkannya untuk
menyampaikan kebutuhan, persepsi, dan keluhan
• Menjalankan program penghargaan untuk memberikan pengakuan bagi karyawan yang
menonjol

Ada tiga pendekatan yang umum untuk membangun kesetian pelanggan:
• Menambahkan manfaat financial
Dua manfaat financial yang bisa ditawarkan perusahaan adalah program frekuensi dan
program klub pemasaran
• Menambahkan manfaat sosial
Perusahaan berusaha meningkatkan ketertarikan sosial pelanggan dengan cara melakukan
individualisasi dan personalisasi hubungan dengan pelanggan. Intisarinya, perusahan berusaha
mengubah pelanggan menjadi klien.
• Menambahkan Ikatan Struktural
Berikut ini adalah saran-saran Wunderman untuk menciptakan ikatan structural dengan
pelanggan:
1) Susunlah kontak jangka panjang
2) Tetapkan harga yang lebih rendah bagi konsumen yang membeli dalam jumlah lebih besar
3) Ubahlah produk menjadi layanan jangka panjang


Manajemen Customer Value

Marc J Epstein, Michael Friedl, Kristi Yuthas dalam jurnalnya Dec 2008 menuliskan daur pengelolaan customer value yang disebut The customer value management cycle. Dalam tulisannya tersebut mereka membuat lima tahapan dalam customer value managemen cycle, yaitu:

STEP 1 : MANAGE CUSTOMER SEGMENTATION
Customer segmentation menunjukan proses pembagian pelanggan dalam kelompok-kelompok untuk tujuan pembuatan keputusan. Segmentasi memberikan perusahaan kemampuan untuk membagi atau membuat iklan yang berbeda pada setiap segmen atau proposisi-proposisi (usulan-usulan) nilai untuk kelompok-kelompok customer yag berbeda. Segmentasi sering ditentukan pada basis kesamaan pada pelanggan, seperti karakteristik pelanggan, kesukaan atau kebiasaan. Secara ideal, segmentasi berkorelasi dengan kebiasaan-kebiasaan customer yang mendrive ke customer prifitability

STEP 2: MEASURE CUSTOMER SEGMENT MARGINS
Pada tingkatan yang paling minim, perusahaan-perusahaan harus mengukur pendapatan dan gross profit untuk setiap kelompok customer. Mengalokasikan biaya penjualan, marketing, dan pelayanan membawa analisis ini pada level berikutnya. Biaya penjualan di beberapa perusahaan sangat signifikan antara customer dan customer yang telah tersegmentasi

STEP 3: MEASURE CUSTOMER LIFETIME VALUE (CLV)
CRV memperkenalkan sebuah dimensi baru untuk memahami nilai dari pemeliharaan pelanggan. Margin berdasarkan kalkulasi fokus pada profit yang dihasilakan pada periode sekarang sama hasilnya dengan pembelian-pembelian oleh customer pada periode berikutnya. CRV memiliki pendekatan yang berbeda. CRV memperlakukan customer sebagai aset perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang menggunakan CRV mengakui bahwa biaya-biaya untuk menarik customer saat ini dianggap sebagai investasi untuk jangka panjang. Perusahaan-perusahaan tersebut juga mengakui bahwa investasi tersebut bisa diekspektasikan untuk menghasilkan pendapatan tambahan di masa depan dalam jangka panjang. Lifetime value of the customer merefleksikan net present value dari semua ekpektasi cash flow perusahaan yang diasosiasikan dengan customer.

STEP 4: MEASURE CUSTOMER IMPACT
Komponen terakhir dari nilai yang diperoleh dari customer adalah customer impact (dampak atau pengaruh). Activity-based costing dan customer lifetime value memungkinkan perusahaan-perusahaan mampu membuat kemajuan-kemajuan besar dalam memahami profit yang diharapkan dari customer-customer yang mereka miliki. Perusahan-perusahan tersebut dapat melengkapi estimasi-estimasi yang baik dari nilai yang ada pada masing-masing customer dan segmen untuk perusahaan melalui pemakaian dan pembelian normal.
Tetapi mendekatan ini sering gagal untuk menangkap beberapa sumberdaya yang potensial. Jadi, profit dihasilkan dari penjualan sekarang maupun di masa depan untuk customer-customer yang memiliki nilai sumber daya yang sangat besar untuk beberapa kelompok customer. Tetapi nilai dapat diciptakan (atau dihancurkan) oleh customer dan kelompok pelanggan dalam banyak cara diluar jangkauan CLV

STEP 5: MANAGE CUSTOMER PROBABILITY
Dalam tahap ini bisa diistilahkan seperti pribahasa batu ketemu jalan. Semua informasi berasal dari ukuran customer value yang dianalisa, dan bisa dilakukan. Hal ini berjalan jauh diluar laporan yang sederhana dari masing-masing kelompok pelanggan yang mempunyai profit yang lebih besar atau tidak mempunyai sama sekali. Pengelompokan yang inovativ dan penjabaran dari hasil analisa customer bisa tidak melingkupi wilayah dimana perbaikan-perbaikan kecil bisa menghasilkan perbaikan-perbaikan besar pada nilai itu sendiri
Kesimpulan:
• Customer value sangat penting sekali dalam melengkapi strategi perusahaan agar
bisa sustanable competitive adventage sekarang dan di masa depan
• Dalam konsep ini customer dianggap sebagai mitra dan aset bagi perusahaan
• Mereka (customer) pada masa sekarang dengan persaingan yang begitu competitive diberlakukan oleh perusahaan tidak bisa disama ratakan kebutuhan dan pelayanannya, mereka harus dikelompokan untuk menganisa taktik dan strategi apa yang cocok untuk menarik dan memaintanancenya.