apa yang anda sukai dari bagian kendaraan anda?

welcome

Hi friends you are welcome in myblog. you can fine what do you want

Laman

Sabtu, 15 Mei 2010

ETIKA DALAM KOMUNIKASI PEMASARAN


I. PENDAHULUAN

Persaingan di antara perusahaan untuk mendapatkan pelanggan bukan merupakan hal yang aneh lagi. Perusahaan giat melakukan banyak kegiatan pemasaran, beberapa praktisi pemasaran memperkirakan bahwa konsumen disuguhi kurang lebih dari 1000 buah iklan setiap harinya (Marsden, 2006 dan Shenk, 1998). Di Indonesia sendiri, menurut penelitian dari lembaga AC Nielsen tingkat kepadatan iklan televisi mencapai angka kurang lebih 1000 buah iklan per minggu. Rata-rata orang dewasa Indonesia menonton iklan televisi sebanyak 850 buah iklan per minggu, sedangkan ibu-ibu rumah tangga menonton iklan lebih banyak lagi yakni 1200 buah iklan per minggu (Kuswati, 2007).
Tingginya tingkat kepadatan iklan (televisi) dan banyaknya jumlah iklan yang ditonton oleh masyarakat menjadikan iklan sebagai salah satu alat pemasaran yang dapat memiliki pengaruh pada masyarakat. Iklan dapat memberikan pengaruh positif jika iklan tersebut bersifat mendidik dan sebaliknya dapat memberikan pengaruh negatif jika tidak mendidik. Bersifat mendidik dalam artian iklan tersebut tidak memberikan informasi yang terlalu berlebihan, dan menyesatkan dalam membujuk konsumen. Terdapat beberapa iklan yang diberikan kepada konsumen bersifat tidak mendidik. Hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi pelanggan, karena dapat menciptakan mind-set yang cenderung tidak masuk akal (logika) bagi konsumen dan merusak moral masyarakat. Di samping itu iklan yang bersifat tidak mendidik, juga memiliki arti iklan tersebut tidak memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen, sehingga konsumen seringkali dibodohi.
Hal ini tidak terlepas dari benar atau salah, atau tindakan moral yang berkenaan dengan setiap aspek komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Sehingga setiap perusahaan atau para marketer tidak hanya mengejar publisitasnya saja mengenai brand maupun produk yang mereka usung ke masyarakat, tetapi memikirkan juga dampak maupun implikasi dari apa yang akan, sedang, maupun telah mereka kominikasikan kemasyarakat dalam bentuk iklan maupun bauran promosi yang lainnya. Berbicara masalah etika memang sesuatu hal yang sangat dilematis bagi para marketer khususnya pengiklan, promotor penjualan, desainer kemasan, dan orang-orang yang terlibat didalamnya. Tetapi walaupun demikian etika tetap harus dijalankan khususnya yang berhubungan dengan regulasi, kebiasaan maupun kebudayaan Negara setempat yang menjadi target sasaran para marketer dalam mengkomunikasikan brand maupun produk yang mereka perkenalkan ke masyarakat, jika perusahaan atau marketer tersebut tidak mau terkena masalah regulasi yang telah ditetapkan oleh suatu Negara maupun class action yang dilakukan oleh masyarakat akibat komunikasi pemasaran yang dilakukan perusahaan atau marketer tersebut yang dianggap tidak etis atau melanggar etika.
Yang menjadi permasalahannya adalah komunikasi pemasaran ( baik iklan, promosi penjualan, personal selling, maupun publicity) seperti apakah yang beretika baik itu? Atau minimal tidak melanggar etika dimasyarakat. Sehingga suatu komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan atau marketer melalui media promotion mixnya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas tanpa mengurangi tujuan yang diinginkan.



II. Pengertian Etika

Sebelum memasuki pembahasan yang lebih mendalam alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian etika secara umum dan batasan-batasannya. Untuk memahami apa itu etika sesungguhnya kita perlu membandingkannnya dengan moralitas. Baik etika maupun moralitas sering dipakai secara dipertukarkan dengan pengertian yang sering disamakan begitu saja. Ini sesungguhnya tidak sepenunya salah. Hanya saja perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang sama sekali berbeda dengan moralitas (Keraf, 1998). Sehubungan dengan itu, secara teoritis kita dapat membedakan dua pengertian etika – kendati dalam penggunaan praktis sering tidak mudah dibedakan (Keraf, 1998). Pertama, etika berasal dari kata Yunani ethos, artinya adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakakat. Pada pengertian pertama ini etika mirip atau sama dengan moralitas yang berasal dari kata Latin mos dalam bentuk jamaknya mores berarti adat istiadat. Kedua, etika dimengerti sebagai filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian pertama diatas.

Sebagai sebuah ilmu yang menitikberatkan refleksi kritis dan rasional, etika dalam pengertian kedua ini lalu bahkan mempersoalkan apakah nilai dan norma moral tertentu memang harus dilaksanakan dalam situasi konkret tertentu yang dihadapi seseorang. Atau etika juga mempersoalkan apakah suatu tindakan yang kelihatan bertentangan dengan nilai dan norma tertentu harus dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dan karena itu harus dikutuk atau justru sebaliknya. Juga dipersoalkan, apakah dalam situasi konkret yang dihadapi memang harus bertindak sesuai dengan norma dan nilai moral yang ada dalam masyarakat ataukah justru sebaliknya dibenarkan untuk bertindak melawan nilai dan norma moral tertentu.

Pada tingkatan ini, etika lalu membutuhkan evaluasi kritis atas semua dan seluruh situasi yang terkait. Dibutuhkan semua informasi seluas dan selengkap mungkin baik menyangkut nilai dan norma moral, maupun informasi empiris tentang situasi yang bahkan belum terjadi atau telah terjadi untuk memungkinkan seseorang bisa mengambil keputusan yang tepat baik tentang tindakan yang akan dilakukan maupun tentang tindakan yang telah dilakukan oleh pihak tertentu. Dalam konteks ini, masuklah segala macam pertimbagan mengenai motif, tujuan, akibat, pihak terkena, berapa banyak orang yang terkena tindakan itu, besarnya resiko dibandingkan manfaat, keadaan psikis pelaku, tingkat intelegensia untuk menentukan sejauh mana pelaku menyadari tindakannya dan akibat dari tindakannya, dan seterusnya dan seterusnya.

Agar lebih konkret lagi, kita dapat mengambil contoh nilai dan norma kejujuran. Pertanyaan etis yang dihadapi pemasar adalah mengapa saya harus jujur mengkomunikasikan atau menawarkan (konkretnya) produk kepada masyarakat konsumen? Memang ada nilai dan norma tertentu bahwa kita harus jujur dalam bertindak sebagai manusia. Namun persoalannya adalah apakah memang dalam situasi konkret yang kita hadapi, kita harus jujur? Atau justru sebaliknya? Mengapa? Pertanyaan mengapa adalah pertanyaan paling penting, karena disanalah dasar moral tindakan jujur atau tidak jujur dalam pemasaran maupun bisnis bisa dilihat dan bisa dipakai untuk membenarkan atau tidak membenarkan tindakan pemasaran yang bersangkutan. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggung jawabkan.

III. Pengertian Komunikasi Pemasaran

A. Pengertian Komunikasi Pemasaran

Komunkasi sebagai dialog interaktif antara perusahaan dan pelanggannya yang berlangsung selama tahap pra penjualan, penjualan, pemakaian dan pasca pemakaian (Kotler, 2004). Perusahaan-perusahaan harus menanyakan bukan hanya “bagaimana kita dapat menjangkau pelanggan kita?” melainkan juga “Bagaimana pelanggan kita dapat menjangkau kita” disinilah peran seorang marketer dengan segala kreatifitasnya membuat komunikasi pemasaran menjadi efektif.

Komunikasi perusahaan mempunyai jangkauan yang lebih daripada unsure - unsur dalam proses komunikasi. Gaya dan harga produk, bentuk dan kemasannya, sikap dan pakaian wiraniaga, hiasan toko, alat alat tulis perusahaan – semuanya menyampaikan sesuatu kepada pembeli. Setiap kontak merek memberikan kesan yang dapat memperkuat atau memperlemah pandangan pelanggan tentang perusahaan tersebut. Seluruh bauran pemasaran harus dipadukan untuk memberikan pesan yang konsisten dan pemosisian yang strategis.

Titik tolaknya adalah semua kemungkinan interaksi yang mungkin dialami pelanggan sasaran dengan produk dan perusahaan tersebut. Contohnya, orang yang tertarik membeli computer baru akan bicara dengan orang-orang lain, melihat iklan televisi, membaca atikel, mencari informasi, dan mengamati computer ditoko maupun pameran. Marketer perlu menilai pengalaman dan kesan mana saja yang paling berpengaruh terhadap masing-masing tahap proses pembelian tersebut. Pemahaman ini akan membantu mereka mengalokasikan dana komunikasi dengan lebih efesien.

Selain itu dikenal pula istilah Integrated Marketing Communications/IMC (komunikasi pemasaran terpadu. Menurut Shimp dalam bukunya perikalanan promosi mengatakan bahwa IMC adalah proses pengembangan dan implementasi berbagai bentuk program komunikasi persuasive kepada pelanggan dan calon pelanggan secara berkelanjutan.
Tujuan IMC adalah mempengaruhi atau memberikan efek langsung kepada perilaku khalayak sasaran yang dimilikinya. IMC menganggap seluruh sumber yang dapat menghubungkan pelanggan atau calon pelanggan dengan produk atau jasa dari suatu merek atau perusahaan, adalah jalur yang potensial untuk menyampaikan pesan dimasa datang. Lebih jauh lagi, IMC menggunakan semua bentuk komunikasi yang relevan serta yang dapat diterima oleh pelanggan dan calon pelanggan. Dengan kata lain, proses IMC berawal dari pelanggan atau calon pelanggan, kemudiam berbalik kepada perusahaan untuk menentukan dan mendefinisikan bentuk dan metode yang perlu dikembangkan bagi program komunikasi yang persuasive.



Lima cirri utama IMC:
mempengaruhi perilaku
berawal dari pelanggan dan calon pelanggan
menggunakan satu atau segala cara untuk melakukan kontak
berusaha menciptakan sinergi
menjalin hubungan

Dari pengertian etika dan komunikasi pemasaran tersebut, maka penulis mencoba merumuskan pengertian etika komunikasi pemasaran sebagai komunikasi perusahaan dan pelanggannya yang diharapkan interaktif dalam proses pemasaran, sehingga menimbulkan hasil yang diharapkan oleh kedua belah pihak dengan beretika dengan dasar pemikiran yang rasional dan regulative.


IV. Masalah Etika Dalam Komunikasi Pemasaran

Relative mudah untuk mendefinisikan etika, namun sulit untuk mengidentifiikasi apa yang etis atau tidak etis dalam komunikasi pemasaran. Sebenarnya, diseluruh bidang pemasaran (seperti halnya di masyarakat) kurang tercipta consensus mengenai permasalahan etika. Walaupun tanpa consensus shimp dalam bukunya Periklanan dan Promosi mengidentifikasi praktik komunikasi pemasaran yang secara khusus bersinggungan dengan masalah etika yang mungkin bisa jadikan acuan untuk kita telaah secara bersama. Bagian-bagian tersebut antara lain
Usaha penentuan target komunikasi pemasaran (etika dalam Targeting)
Menurut kutipan yang tersebar luas mengenai konsep dan strategi pemasaran, perusahaan harus mengarahkan penawarannya kepada segmen pelanggan yang spesifik. Namun dilemma etika kadangkala muncul pada saat usaha memasarkan produk khusus dan melakukan komunikasi pemasaran yang diarahkan kepada segmen tertentu. Yang khusus mengundang perdebatan mengenai etika adalah praktek targeting dan usaha komunikasi kepada segmen yang- alasan psikososial dan ekonomis – rentan terhadap komunikasi pemasaran, seperti anak-anak dan kaum minoritas.
Contoh iklan Gatorade untuk anak-anak “alternative sehat untuk anak yang sedang kehausan” dikritik para ahki gizi dan para kritikus lainnya tidak penting bagi anak dan tidak lebih baik dari air putih.

Periklanan
Antara lain:
1. iklan dianggap tidak jujur dan menipu
2. iklan bersifat ofensif dan berselera buruk
3. iklan menciptakan dan mempertahankan streotife
4. orang-orang membeli barang yang tidak begitu diperlukan
5. iklan memanfaatkan rasa takut dan ketidakamanan

Hubungan Masyarakat
Masalah yang disorot disini adalah masalah publisitas negative. Masalah etis yang menjadi pertimbangan utama adalah apakah sebuah perusahaan mengakui kekurangan produknya dan membetihukan duduk perkaranya, atau mencoba menutupi permasalahan tersebut.

Personal Selling dan telemarketing
lapisan moral dari setiap orang merupakan penentu utama sejujur apa dirinya ketika berhadapan dengan pelanggan atau ketika melakukan penjualan melalui telepon. Struktur hukuman dan balas jasa dari suatu perusahaan juga mempengaruhi perilaku etis dari para sales person, namun seringkli ini amat tergantung dari kepribadian seseorang.

Komunikasi kemasan (packaging communication)
Empat aspek dalam pengemasan yang melibatkan masalah etis adalah:
1. informasi label
2. grafik pengemasan
3. keamanan pengemasan
4. implikasi pengemasan terhadap lingkungan

Promosi penjualan.
Promosi penjualan yang berorientasi konsumen (termasuk praktik-praktik seperti pemberian kupon, penawaran bonus, pengembalian, undian berhadiah, dan kontes) dapat bersifat tidak etis ketika promotor penjualan menawarkan sebuah penghargaan kepada konsumen tetapi tidak direalisasi – sebagai contoh, tidak mengirimkan bonus yang dijanjikan atau tidak mengirimkan cek potongan harga yang dijanjikan.

V. Menuju Komunikasi Pemasaran yang Etis

Tanggung jawab utama bagi perilaku etis adalah ditangan setiap orang yang berada dalam berbagai peran komunikasi pemasaran. Integritas mungkin merupakan konsep vital dalam sifat manusia. Walaupun sulit mencari definisi yang tepat, integritas menghindarkan kita melakukan penipuan terhadap orang lain atau mempunyai perilaku tak bermoral. Karenanya, komunikasi pemasaran sendiri terlepas dari masalah etis atau tidak etis – tingkat integritas yang ditunjukan oleh praktisi komunikasilah yang menentukan apakah perilaku mereka bersifat etis atau tidak etis ( Shimp: 2000)

Shimp dalam bukunya periklanan dan promosi mengatakan bisnis dapat menankan kebudayaan yang etis atau tidak etis dengan membangun ethical core values untuk memadukan perilaku komunikasi pemasaran. Dua core value yang akan terus berlaku dalam meningkatkan perilaku etis adalah:
1. memperlakukan konsumen dengan rasa hormat, perhatian, dan kejujuran – seperti halnya bagaimana anda ingin anda dan keluarga anda diperlakukan
2. memperlakukan lingkungan seolah olah sebagai milik anda pribadi

shimp juga menyarankan kepada perusahaan agar dapat mendorong perilaku komunikasi pemasaran yang etis kepada para pegawai dengan mengaplikasikan serangkaian tes berikut ini ketika berhadapan dengan masalah etika:
bertindak sebagaimana Anda ingin orang lain bertindak terhadap Anda (The Golden Rule)
hanya melakukan tindakan yang dianggap pantas oleh panel obyektif yang terdiri dari kolega professional anda (The Profesional Ethic)
selalu bertanya “apakah saya merasa nyaman menjelaskan tindakan ini melalui televise kepada khalayak umum?” (the TV test)

Memang tidak mudah untuk pemecahan masalah etika karena salah satu sifatnya yang kadang masih menimbulkan dilematis, tetapi penulis mencoba untuk menawarkan solusi yang bisa direnungkan dan ditelaah secara bersama-sama. Alternative tersebut antara lain:
1. Sebelum memutuskan untuk merealisasikan program komunikasi pemasaran yng dijalankan maka perlu mempertimbangkan mengenai motif, tujuan, akibat, pihak terkena, berapa banyak orang yang terkena tindakan itu, besarnya resiko dibandingkan manfaat, keadaan psikis pelaku, tingkat intelegensia untuk menentukan sejauh mana pelaku menyadari tindakannya dan akibat dari tindakannya, dan seterusnya dan seterusnya.
2. regulasi yang jelas dengan tidak mengabaikan kepentingan berbagai pihak
3. lebih mementingkan kepentingan jangka panjang bagi para pebinis dan marketer khususnya

VI. Penutup

Adapun kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis adalah komunikasi pemasaran yang beretika itu merupakan komunikasi yang dilakukan oleh para marketer dengan berbagai strateginya dalam bentuk promotion mixnya dengan tidak bertentangan dengan adat istiadat maupun moral serta regulasi bila ada dalam masyarakat. Marketer diharapkan merasionalkan pemikirannya dalam menyusun promotion mixnya, bukan mencari pembenaran melalui irasional.

Adapun rekomendasi yang bisa penulis sampaikan adalah seperti alternative diatas, antara lain:

1. Sebelum memutuskan untuk merealisasikan program komunikasi pemasaran yang dijalankan maka perlu mempertimbangkan mengenai motif, tujuan, akibat, pihak terkena, berapa banyak orang yang terkena tindakan itu, besarnya resiko dibandingkan manfaat, keadaan psikis pelaku, tingkat intelegensia untuk menentukan sejauh mana pelaku menyadari tindakannya dan akibat dari tindakannya, dan seterusnya dan seterusnya.

2. regulasi yang jelas dengan tidak mengabaikan kepentingan berbagai pihak

3. lebih mementingkan kepentingan jangka panjang bagi para pebinis dan marketer khususnya.
by Andy Lala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar